PertanyaanPenduduk di daerah Pantai akan membutuhkan sayuran dari pegunungan, sedangkan penduduk yang berada daerah pegunungan akan membutuhkan ikan dari laut. Hal ini menunjukan bahwa antara satu ruang dengan yang lain ....Penduduk di daerah Pantai akan membutuhkan sayuran dari pegunungan, sedangkan penduduk yang berada daerah pegunungan akan membutuhkan ikan dari laut. Hal ini menunjukan bahwa antara satu ruang dengan yang lain ....saling berinteraksi satu sama laintidak ada hubungan antara satu sama laintidak saling bergantungtidak memiliki sebab akibatABMahasiswa/Alumni Universitas SiliwangiJawabanjawaban yang tepat yang tepat adalah antarruang adalah cara mengelola ruang-ruang berdasarkan potensi juga permasalahannya dan keterkaitan suatu ruang dengan ruang-ruang di sekitarnya. Syarat terjadinya interaksi antarruang dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu saling melengkapi, kesempatan antara dan keadaan dapat diserahkan/dipindahkan. Dari pertanyaan tersebut ada hubungan saling melengkapi atau saling berinteraksi satu sama lain dengan kata kunci membutuhkan. Jadi, jawaban yang tepat antarruang adalah cara mengelola ruang-ruang berdasarkan potensi juga permasalahannya dan keterkaitan suatu ruang dengan ruang-ruang di sekitarnya. Syarat terjadinya interaksi antarruang dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu saling melengkapi, kesempatan antara dan keadaan dapat diserahkan/dipindahkan. Dari pertanyaan tersebut ada hubungan saling melengkapi atau saling berinteraksi satu sama lain dengan kata kunci membutuhkan. Jadi, jawaban yang tepat adalah A. Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher di sesi Live Teaching, GRATIS!9rb+Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
PasarPlaosan 2 Kabupaten Magetan adalah salah satu pasar sayur daerah yang masih ada di wilayah Kabupaten Magetan hingga saat ini. Apabila melihat cara termasuk area pegunungan dimana memiliki suhu kelembapan udara 160-20o C dengan curah hujan mm/tahun. Pada sebelah timur tapak terdapat tebing dengan
DiakuiUlus, daerah pegunungan di Desa Suntenjaya, aktivitas pengangkutan barang masih banyak dilakukan oleh tenaga manusia secara keseluruhan meski jalan yang ditempuh sulit dilalui. Oleh karena itu, keberadaan kereta gantung pengangkut sayuran ini manfaatnya sangat dirasakan karena dapat membantu kerja manusia.
Potensi tanaman hortikultura khususnya sayuran yang ada di Kecamatan Tinggimoncong cukup besar bahkan beberapa jenis sayuran seperti kubis, petsai, wortel, bawang daun dan kentang, selain dipasarkan dalam wilayah kabupaten juga dipasarkan sampai ibukota propinsi bahkan di antar pulaukan ke Kalimantan namun demikian sistem pemasarannya masih bersifat tradisional yang berimplikasi pada pendapatan petani sebagai produsen tidak optimal. Penelitian ini bertujuan mengkaji stuktur pasar, saluran distribusi dan margin pemasaran produk usahatani sayur-sayuran yang berada di Desa Karenapia, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2019, dengan menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Struktur pasar sayuran yang terbentuk di desa Kanreapia mengarah pada pasar oligopsoni. Struktur pasar di tingkat kabupaten/kota, lebih memgarah pada pasar persaingan sempurna dan diferensiasi. petani sebagai produsen tidak memiliki sarana dan perlakuan pascapanen standarisasi melalui grading, lemahnya informasi tentang pasar sehingga peranan petani dalam memanfaatkan peluang pasar sangat kecil, skala usaha yang relatif kecil dan usaha tani yang tidak didasarkan atas permintaan pasar, menyebabkan posisi tawar petani sangat lemah, hal ini memungkinkan kehadiran pedagang perantara yang kemudian lebih dominan dalam penentuan harga jual di tingkat petani. Bagian yang diterima petani dari harga yang dibayarkan konsumen untuk beberapa jenis sayuran, rata-rata lebih kecil dibandingkan yang diterima oleh pedagang perantara sehingga sistem pemasaran yang terjadi dinilai kurang efisien bagi petani. The potential of horticultural crops, especially vegetables in the District of Tinggimoncong is quite considerable. Some types of vegetables such as cabbage, Chinese cabbage, carrots, leeks and potatoes, besides being marketed in the Regency Area, are also marketed to the provincial capital even inter-island to Kalimantan. The marketing system, however, is still traditional, and that makes the income of the farmers as the producers is not optimal. This study aimed to examine the market structures, distribution channels and marketing margins of the vegetable farming products located in Kanreapia village Tinggimoncong District Gowa Regency South Sulawesi. Using a quantitative descriptive approach, it was carried out from April to June 2019. The results showed that the structure of the vegetable market formed in Kanreapia village led to an oligopsony market. The market structure at the Regency/Municipal level was more likely to lead to a perfect competition and differentiation market. Because the farmers as the producers did not have post-harvest treatment and facilities standardization through grading, and were weak in terms of market information, the role of the farmers in taking the advantages of market opportunities was very small. The relatively small business scales and non-market-demand farming have caused the farmers’ bargaining position very weak, allowing the presence of intermediary traders who in turn are more dominant in determining the selling prices at the farmer level. For several types of vegetables, the share received by the farmers from the price paid by the consumers is, on average, smaller than that received by the intermediary traders. Hence, the marketing system that occurs is considered less efficient for farmers. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 634 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 Analisis Struktur Pasar Sayuran di Desa Kanreapia Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan An Analysis of the Structure of the Vegetable Market in Kanreapia Village Tinggimoncong District Gowa Regency South Sulawesi Province Aylee Christine Alamsyah Sheyoputri1*, Abri2, *Email 1Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Bosowa 2Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Bosowa ABSTRAK Potensi tanaman hortikultura khususnya sayuran yang ada di Kecamatan Tinggimoncong cukup besar bahkan beberapa jenis sayuran seperti kubis, petsai, wortel, bawang daun dan kentang, selain dipasarkan dalam wilayah kabupaten juga dipasarkan sampai ibukota propinsi bahkan di antar pulaukan ke Kalimantan namun demikian sistem pemasarannya masih bersifat tradisional yang berimplikasi pada pendapatan petani sebagai produsen tidak optimal. Penelitian ini bertujuan mengkaji stuktur pasar, saluran distribusi dan margin pemasaran produk usahatani sayur-sayuran yang berada di Desa Karenapia, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2019, dengan menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Struktur pasar sayuran yang terbentuk di desa Kanreapia mengarah pada pasar oligopsoni. Struktur pasar di tingkat kabupaten/kota, lebih memgarah pada pasar persaingan sempurna dan diferensiasi. petani sebagai produsen tidak memiliki sarana dan perlakuan pascapanen standarisasi melalui grading, lemahnya informasi tentang pasar sehingga peranan petani dalam memanfaatkan peluang pasar sangat kecil, skala usaha yang relatif kecil dan usaha tani yang tidak didasarkan atas permintaan pasar, menyebabkan posisi tawar petani sangat lemah, hal ini memungkinkan kehadiran pedagang perantara yang kemudian lebih dominan dalam penentuan harga jual di tingkat petani. Bagian yang diterima petani dari harga yang dibayarkan konsumen untuk beberapa jenis sayuran, rata-rata lebih kecil dibandingkan yang diterima oleh pedagang perantara sehingga sistem pemasaran yang terjadi dinilai kurang efisien bagi petani. Kata Kunci Pemasaran Sayuran, Margin Pemasaran, Efesiensi Pemasaran, Struktur Pasar, Petani ABSTRACT The potential of horticultural crops, especially vegetables in the District of Tinggimoncong is quite considerable. Some types of vegetables such as cabbage, Chinese cabbage, carrots, leeks and potatoes, besides being marketed in the Regency Area, are also marketed to the provincial capital even inter-island to Kalimantan. The marketing system, however, is still traditional, and that makes the income of the farmers as the producers is not optimal. This study aimed to examine the market structures, distribution channels and marketing margins of the vegetable farming products located in Kanreapia village Tinggimoncong District Gowa Regency South Sulawesi. Using a quantitative descriptive approach, it was carried out from April to June 2019. The results showed that the structure of the vegetable market formed in Kanreapia village led to an oligopsony market. The market structure at the Regency/Municipal level was more likely to lead to a perfect competition and differentiation market. Because the farmers as the producers did not have post-harvest treatment and facilities standardization through grading, and were weak in terms of market information, the role of the farmers in taking the advantages of market opportunities was very small. The relatively small business scales and non-market-demand farming have caused the farmers’ bargaining position very weak, allowing the presence of intermediary traders who in turn are more dominant in determining the selling prices at the farmer level. For several types of vegetables, the share received by the farmers from the p-ISSN 1411-3597 e-ISSN 2527-7286 DOI 635 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 price paid by the consumers is, on average, smaller than that received by the intermediary traders. Hence, the marketing system that occurs is considered less efficient for farmers. Keywords Vegetable Marketing, Marketing Margin, Marketing Efficiency, Market Structure, Farmers. This work is licensed under Creative Commons Attribution License CC-BY International license A. PENDAHULUAN Sayuran merupakan komoditi pertanian berprospek cerah sebab permintaan terhadap komoditi ini cukup tinggi, mengingat sayuran termasuk pangan esensial karena mengandung zat gizi mikro berupa vitamin dan mineral. Andarwulan dan Faradilla 2012, mengemukakan bahwa senyawa fenolik dalam sayuran merupakan salah satu senyawa fitokimia yang paling banyak diteliti terkait manfaatnya sebagai anti oksidan. Peningkatan komsumsi sayuran dan buah dapat mencegah penyakit kronis dan mencegah penambahan berat badan, bahkan himbauan untuk mengkomsusi sayur dan buah dengan kandungan gizi seimbang pada masyarakat belahan dunia barat merupakan salah satu strategi utama dalam rangka mengurangi terjangkitnya penyakit kronis seperti obesitas, diabetes melitus tipe 2, hipertensi, jantung koroner, stroke dan lain-lain Boeing et al,2012. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran nilai gizi untuk hidup sehat menyebabkan permintaan sayuran di Indonesia terus meningkat. Konsumsi sayuran di Indonesia sebanyak 40 kg/kapita/tahun, namun demikian angka konsumsi tersebut masih berada di bawah rekomendasi standar FAO yaitu 73kg/kapita/tahun. Salah satu upaya untuk meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap sayuran maka diperlukan sistem pemasaran yang efesien dan efektif Darian Indonesia memiliki potensi yang besar bagi penyediaan produk sayuran, utamanya sayur-sayuran dataran tinggi, salah satunya adalah Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan yang merupakan pemasok utama kebutuhan sayuran di Kota Makassar dan kota-kota lainnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan usahatani di daerah tersebut belum optimal yang tercermin dari fluktuasi produksi, beragamnya kualitas serta merosotnya harga karena mekanisme fungsi pemasaran yang belum baik. Rusaknya produk pada kegiatan transportasi dan penyimpanan pada gilirannya akan menurunkan harga yang pada akhirnya berpengaruh pada pendapatan para pelaku pasar termasuk petani sebagai produsen. Dalam pemasaran komoditas pertanian, terdapat pelaku pasar yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, komoditas yang dipasarkan juga bervariasi kualitas, harga dan lembaga yang terlibat. Kompleksitas pemasaran tersebut 636 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 memerlukan pendekatan secara terintegrasi sehingga dapat menguntungkan semua pihak, untuk itu pendekatan struktur dan perilaku pasar dipandang penting agar terjadi peningkatan daya saing produk melalui peningkatan efesiensi pemasaran produk sayuran. B. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Desa Kanreapia, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan, pada bulan April hingga Juni 2019. Sampel petani produsen berjumlah 42 orang yang diambil secara acak 10% dari populasi. Sampel pedagang diambil secara penunjukan langsung yakni; 5 orang pedagang pengumpul yang berdomisili di lokasi penelitian, 60 orang pedagang pengecer yang mewakili 3 pasar utama tradisional yaitu Pasar Sungguminasa Gowa, Pasar Terong, Pasar Sentral Makassar dan 4 pasar swalayan di Kota Makassar. Data dikumpulkan dengan penggunaan kuisioner. Analisis data dilakukan secara kuantitatif untuk menghitung margin pemasaran dan analisis kualitatif untuk mengetahui perilaku pasar, saluran pemasaran dan stuktur pasar. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi merupakan salah satu aspek pemasaran yang menekankan bagaimana suatu produksi dapat sampai ke tangan konsumen. Proses pendistribusian dapat dikatakan efesien apabila mampu menyampaikan hasil produksi kepada konsumen dengan biaya terendah dan mampu mengadakan pembagian keuntungan dan adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi dan distribusi. Pemilihan saluran pemasaran yang optimal berhubungan dengan faktor resiko, keuntungan, biaya tenaga kerja, preferensi gaya hidup dan volume penjualan LeRoux et al, 2010. Terdapat tiga pelaku pasar yang memegang peranan penting dalam pendistribusian sayuran di Desa Kanreapia. Ketiganya adalah petani/produsen sayuran, pedagang perantara dan konsumen. Petani adalah orang yang langsung berhubungan dengan proses produksi sayuran. Konsumen adalah pembeli terakhir produk sayuran dan pedagang perantara adalah pengusaha yang tidak langsung berhubungan dengan proses produksi melainkan hanya sebagai penyalur produksi sayuran. Pedagang perantara yang terlibat langsung dalam distribusi sayuran yang berasal dari desa Kanreapia adalah a. Pedagang pengumpul yang merupakan lembaga perantara yang membeli sayuran langsung dari petani produsen untuk selanjutnya disalurkan kepada 637 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 pedagang pengecer di pasar umum, pasar swalayan dan pedagang keliling. b. Pedagang pengecer yang berfungsi sebagai lembaga yang langsung berhubungan dengan konsumen. Pedagang pengecer umumnya menjual sayuran dalam jumlah yang sedikit kepada para konsumen Berdasarkan hasil kajian dan analisis terhadap tanggungjawab masing-masing lembaga pemasaran, diketahui bahwa sistem pemasaran sayuran yang banyak digunakan olehpetani di Desa Kanreapia adalah bersifat konvensional dengan bentuk kontraktual. Haji J, 2010 mengemukakan bahwa pelaksanaan kontrak didasarkan atas saling percaya dan bertujuan untuk mengurangi risiko pembayaran terutama yang disebabkan oleh kerusakan produk. Di dalam praktek perdagangan sayuran di desa Kanreapia, kendali keputusan dipegang oleh pedagang perantara yang terlihat dari kecenderungan perantara menghendaki tingkat keuntungan yang lebih tinggi, dan di lain pihak petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Sistem kontraktual terjadi juga disebabkan petani kesulitan mengakses lembaga kredit formal sehingga banyak petani yang meminjam kepada para pedagang dan ketika panen, skema pembayaran memaksa petani ke dalam pengaturan perdagangan Milagrosa, A., 2006. Di desa Kanreapia, dalam hal pelaksanaan kontraktual tidak banyak, yaitu hanya dilakukan oleh para pedagang antar pulau atau eceran pada pasar swalayan. Sistem kontraktual biasanya lebih menjamin kontinuitas pemasaran, harga jual yang ditetapkan relatif stabil, tetapi tidak banyak menguntungkan petani produsen namun demikian petani berharap mendapatkan kepastian pasar bagi produknya dan tidak menyulitkan mereka sebab pedagang pengumpul yang datang untuk mengadakan transaksi jual beli. Stuktur pasar sayuran yang terbentuk di desa Kanreapia dapat dikatakan mengarah pada pasar yang bersifat oligopsoni hal tersebut terjadi akibat kurangnya kompetisi di antara pedagang sebagai akibat dari jumlah pedagang yang terbatas, dan kalaupun jumlah pedagang yang terlibat cukup banyak tetapi sesungguhnya dalam kegiatannya para pedagang tersebut seringkali dikendalikan oleh beberapa pedagang tertentu. Kondisi pasar seperti ini tidak menguntungkan bagi petani karena harga yang diterima petani dikendali kan oleh pedagang. Pada kondisi tersebut petani cenderung menerima harga yang rendah akibat pedagang yang berusaha memaksimumkan keuntungannya. Struktur pasar di tingkat Kabupaten /Kota, lebih mengarah pada pasar persaingan sempurna dan diferensiasi. Struktur pasar 638 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 yang mendekati persaingan sempurna terjadi pada perdagangan komoditi petsai, cabai merah, bawang daun dan tomat. Sedangkan stuktur pasar diferensiasi terjadi pada komoditas kentang, kubis dan buncis. Komoditas kentang diklasifikasikan berdasarkan ukuran dengan kualifikasi A, B dan C. Kentang dengan kualitas A dijual melalui saluran pemasaran khusus seperti pasar-pasar swalayan dan kentang dengan kualitas B dan C dijual pada pasar-pasar tradisional pasar umum. Komoditas kubis diklasifikasikan berdasarkan mutu. Mutu I memiliki warna kulit lebih licin,ukuran lebih besar dan bentuk yang bulat dan padat. Mutu II memiliki krop agak kusam bentuknya kurang bulat dan tidak padat. Kubis mutu I biasanya dijual dipasar swalayan. Komoditas petsai, tomat, bawang daun dan cabai merah dapat dikategorikan tidak terdiferensiasi walaupun dalam praktek terkadang pedagang pengumpul tetap melakukan klasifikasi namun tidak bersifat baku. Saluran distribusi sayuran yang berasal dari desa Kanreapia dapat dilihat pada gambar 1. Pada Gambar 1. terlihat bahwa pendistribusian sayur-sayuran dari petani ke konsumen melalui sistem penyaluran tidak langsung karena terdapat dua pedagang perantara yaitu pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Lembaga pemasaran petani dan pedagang perantara mempunyai hubungan kegiatan yang terpisah, dengan demikian pemilikan keuntungan dari kegiatan pemasaran tersebut adalah terpisah antara petani dan pedagang perantara. Para petani sayur-sayuran di desa Kanreapia pada dasarnya belum berorientasi pada usahatani dengan sistem agribisnis, hal ini dapat terlihat dari tidak adanya sarana pascapanen yang dimiliki petani sehingga mereka tidak mau mengambil resiko dalam hal penyimpanan produk. Mereka selalu ingin menjual produknya dengan segera. Hal inilah yang memungkinkan kehadiran pedagang perantara yang dalam hal ini pedagang pengumpul yang kemudian lebih dominan dalam hal penentuan harga jual di tingkat petani. Hal lain yang berkaitan dengan harga jual adalah kurangnya pengetahuan petani terhadap informasi pasar, ada kalanya harga di tingkat petani jauh lebih rendah dari harga jual sebenarnya, akibatnya bagian yang diterima oleh petani produsen dari harga yang dibayarkan oleh konsumen secara rata-rata lebih kecil dibandingkan yang diterima oleh pedagang perantara. Kenyataan ini dapat dilihat dari perolehan marjin pemasaran setiap lembaga yang 639 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 berperan dalam pendistribusian sayur-sayuran yang berasal dari desa Kanreapia, yang menunjukkan ketidakefesienan pemasaran yang didefenisikan sebagai kegagalan petani untuk mencapai hasil pemasaran yang lebih baik yang tercermin dari indeks harga hasil yang rendah Singho et al, 2014. Marjin pemasaran terdiri atas keuntungan sebagai balas jasa atas kegiatan dilakukan dan biaya-biaya operasional pemasaran, yaitu biaya transportasi /pengangkutan, bongkar muat, biaya tarif pasar/retribusi dan biaya penyusutan. Banyaknya komponen marjin pemasaran ditentukan oleh rentang saluran pemasaran yang dilalui. Saluran pemasaran yang digunakan untuk menghitung nilai marjin dimulai dari tingkat petani, pengumpul, pengecer di pasar umum atau pasar swalayan. Analisis marjin pemasaran dilakukan untuk mengetahui besarnya tingkat marjin yang diperoleh masing-masing pelaku pasar dalam kegiatan pendistribusian sayuran. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui pelaku pasar mana yang menerima keuntungan paling besar dan seberapa besar keuntungan yang diterima petani. Biaya transportasi pengangkutan merupakan biaya yang dikeluarkan pedagang untuk mengangkut barang dagangan dari pasar penampungan ke pasar pengecer. Biaya bongkar muat adalah biaya yang dikeluarkan pedagang untuk menyewa tenaga kerja lepas guna mengantarkan sayuran dari kendaraan ke lokasi pembeli. Tarif restribusi pasar adalah biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer untuk uang kebersihan dan sewa tempat setiap hari. Biaya Penyusutan merupakan sifat alami dari komoditas hortikultura, termasuk sayuran. Selain karena sifat sayur-sayuran yang mudah busuk, penyusutan terjadi sebagai akibat penanganan dan pengemasan yang kurang baik selama pengangkutan dari tempat penampungan ke pasar-pasar pengecer, serta susut berat dan adanya produk yang tidak laku terjual. Besar penyusutan berbeda-beda untuk tiap jenis komoditas sayuran. Tabel 1. Rata-rata marjin, harga beli dan harga jual sayuran Rp/ Kg pada saluran distribusi I Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen 640 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 Pengumpul Umum Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum P. P Swalayan Konsumen Sumber Data Primer Setelah Diolah Tabel 2. Rata-rata marjin, harga beli dan harga jual sayuran Rp/ Kg pada saluran distribusi II Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum Swalayan Konsumen Petani Pengumpul Umum P. P Swalayan Konsumen Sumber Data Primer Setelah Diolah Perbedaan besarnya marjin pemasaran antara bentuk saluran I dan saluran II disebabkan karena adanya perbedaan biaya pemasaran yang dikeluarkan khususnya pada tingkat pedagang pengecer. Pengecer pada bentuk saluran II dalam hal ini adalah pengecer pasar swalayan sedangkan pada saluran I adalah pengecer pasar umum tradisional. Mudah dipahami marjin pemasaran lebih besar pada bentuk saluran II mengingat bahwa pasar swalayan menetapkan harga jual lebih besar untuk semua jenis sayuran dibandingkan dengan pasar umum, sebab selain pasar swalayan mengeluarkan biaya pemasaran yang lebih besar seperti biaya-biaya operasional yang bertujuan untuk memberikan kenyamanan bagi konsumen, produk yang dijual memiliki kualitas yang lebih baik terutama pada komoditas yang terdiferensiasi seperti kentang dan kubis. Jika dilihat dari perolehan marjin pada setiap tingkat saluran saluran, maka pada bentuk saluran distribusi I marjin terbesar diperoleh pedagang pengumpul. Untuk 641 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 saluran distribusi II, marjin terbesar di peroleh pedagang pengecer untuk jenis sayuran bawang prei, buncis, kubis dan petsai, sedangkan untuk kentang dan tomat marjin terbesar diperoleh pedagang pengumpul. Adapun bagian yang diterima tani dan pedagang perantara dari harga yang dibayarkan oleh konsumen secara persentase untuk setiap jenis sayuran pada bentuk saluran I dan II dapat dilihat pada Tabel 3. Persentase yang diterima petani dan pedagang perantara berdasarkan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Bagian yang diperoleh % Bawang Daun Buncis Kubis Kentang Petsai Tomat Wortel 46,1 75,0 54,5 60,0 30,0 70,0 61,5 53,9 25,0 45,5 40,0 70,0 38,5 Bawang Daun Buncis Kubis Kentang Petsai Tomat Wortel 40,0 66,0 42,8 53,6 27,3 50,0 34,0 57,2 46,4 72,7 41,7 50,0 Sumber Data Primer Setelah Diolah Pada Tabel 2, terlihat bahwa pada bentuk saluran I yang melibatkan pasar tradisional secara rata-rata, bagian yang diterima petani dari harga yang dibayarkan oleh konsumen lebih tinggi 56,7% dibandingkan dengan bentuk saluran II yang melibatkan pasar moderen di perkotaan 48,3% padahal tingkat harga jual satuan pada bentuk saluran ke II lebih besar dibandingkan saluran I. Hal ini sejalan dengan temuan Otieno et al.,2009 di Kenya bahwa ada perbedaan yang signifikan antara harga satuan penjualan sayuran di daerah pedesaan dan di daerah pekotaan. 642 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 D. KESIMPULAN DAN SARAN Kerjasama antar lembaga yan terlibat dalam pemasaran sayuran di Desa Kanreapia masih bersifat konvensional dan parsial dimana masing-masing lembaga tidak bertangungjawab terhadap lembaga lainnya dan kalaupun sistem kontrak dilaksanakan hanya sebatas perjanjian secara lisan yang dilandasi atas saling percaya. Stuktur pasar sayuran yang terbentuk di desa Kanreapia dapat dikatakan mengarah pada pasar yang bersifat oligopsoni hal tersebut terjadi akibat kurangnya kompetisi di antara pedagang sebagai akibat dari jumlah pedagang yang terbatas. Struktur pasar di tingkat Kabupaten/Kota, lebih mengarah pada pasar persaingan sempurna dan terdiferensiasi. Struktur pasar yang mendekati persaingan sempurna terjadi pada perdagangan komoditi petsai, bawang daun dan tomat. Sedangkan stuktur pasar diferensiasi terjadi pada komoditas kentang, kubis dan buncis Untuk beberapa jenis sayuran, baik pada bentuk saluran I maupun saluran II, bagian yang diterima petani dari harga yang dibayarkan oleh konsumen lebih rendah dari bagian yang diterima pedagang perantara. Hal ini mengindikasikan bahwa pola pemasaran yang diterapkan saat ini masih kurang efisien bagi petani produsen. DAFTAR PUSTAKA Arwanti, Sitti. 2016. Sistem Pemasaran Senyawa fenolik pada beberapa sayuran indigeneus dari indonesia. Seafast Center. Bogor. Boeing H,A Bechthold,A Bub, S Ellinger, D Haller, A Kroke, E Leschik-Bonnet, MJ Muller, H Oberriter, M Schulze, P Stehle, B Watzl. 2012. Critical review vegetables and fruit in the prevention of cronick diseases. Eur. J. Nutr 51 637-663. Darian J. C., Tucci L., 2013. Developing marketing strategies to increase vegetable consumption. Journal of Consumer Marketing 427-435 30 Maret 2013. ISSN 0736-3761. DOI [FOA] Food and Agriculture Organisation. 2016. Food and agriculture data. [ 10 september 2016]. Haji Jema, 2010. Te Entorcement of Traditional Vegetable Marketing Contracts in the Eastern and Central Parts of Ethiopia. Journal of African Economies, Vol. 19, number 5, pp. 768-792 doi online date 6 May 2010. Irwan, B, 2003. Membangun Agribisnis Holtikultura Terintegrasi Dengan Basis Kawasan Pasar. Forum Peneliti Agro Ekonomi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian 2006 dan Prospek 2007. Jakarta, 20 Desember 2006. Irawan B, 2007. Fluktuasi Harga, Transmisi Harga dan Marjin Pemasaran Sayuran dan Buah, Jurnal Analisis kebijakan Pertanian No. 4. Desember 2007. Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 643 Jurnal Ilmiah Ecosystem Volume 21 Nomor 3, Hal. 634-643, September - Desember 2021 2010-2014. Kementerian Pertanian, Jakarta. LeRoux M. N., Schmit T. M., Roth M., Streeter 2010. Evaluating marketing channel options for small-scale fruit and vegetable producers. Renewable Agriculture and Food Systems 2591; 16-23. Doi CambridgeUniversity Press 2010. Milagnosa, A., 2006. Institutional Economic of vegetable production and marketing in northern Philippines social capital, institution and governance Wageningen University Netherlands. Otieno D. J., Omiti J., Nyanamba T., McCullough E., 2009. Market participation by vegetable farmers in Kenya A comparison of rural and peri-urban areas. African Journal of Agricultural Research Vol. 4 5, pp. 451-460, May 2009. ISSN Permana, Bintoro, Haris, 2006. Analisis jaringan Pemasaran Sayuran kasus Petani Kecil Ciwidey, bandung . Jurnal MPI Vol 1 September 2006 Sayaka, W. Rusastra, R Sajuti, Supiyati, Sejati, A. Agustian, J. Situmorang, Ashari, Y. Supriyatna, dan R. E, Manurung. 2008. Pengembangan Kelembagaan Pathnership Dalam Pemasaran Komuditas Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Singbo A. G., Lansink A. O., Emvalomatis G., 2014. Estimating farmers’productive and marketing inefficiency an application to vegetable producers in Benin Springer DOI 16 April 2014. ... According to the Ministry of Agriculture, Indonesian cocoa farms' productivity declined due to pests/diseases, old crops, small farmers' land tenure, inadequate garden maintenance, and lack of improved varieties clones Direktorat Jenderal Perkebunan, 2018. This condition was exacerbated by the weak bargaining position of farmers in the oligopsony-tends marketing system Nahraeni et al. 2021;Sheyoputri and Abri, 2021. ... Muhammad AsirAnnisa Ishmat AsirEfficient marketing can increase the profits of all the stakeholders involved. Profit increased at the farmer level will encourage the ability and motivation to manage the farm. This study aims to identify the benefits obtained by farmers, collectors, wholesalers, and purchasing units of exporters in the marketing of cocoa beans. This research was conducted through the survey using by Hayami Method. The results showed that Profit received by farmers amount Rp314/kg was lower than those received by collectors amount Rp1,022/kg, wholesalers at Rp736/kg, and unit purchases at Rp2,826/kg. This was due to the cost of labor incurred by farmers, and the amount of Rp2,100/kg was higher than by collector's amount of Rp230/kg, the wholesaler's and the purchase unit Another factor was the price of production input costly such as fertilizer dan pesticides, which was not followed by the increase in output price cocoa beans determined by marketers. The low productivity and quality of cocoa beans produced by farmers also affected low profit. The government must be able to control the purchase price of marketing actors, improve the knowledge and skills of farmers in the management of cocoa farms by establishing business groups/cooperatives, increase the role of farmer groups, and also to improve the internet infrastructure that supports the digital marketing of cocoa commodities. Keywords main stakeholders, cocoa beans, profit, marketing, Hayami methodTransformations in agri-food systems provide prospects for improving livelihoods of many farmers through enhanced participation in commercial agriculture. Indeed, various studies have been undertaken to establish factors that influence the level of market orientation in different areas. However, those studies do not show appropriate objective criteria to support decisions for either separating or merging data and the subsequent analyses for different sites. Consequently, policy inferences made from such studies may be misleading due to failure to statistically account for site-specific variations in data. This study fills the analytical gap evident in literature by using the Chow test and descriptive measures of statistical difference to compare the intensity of market participation among rural and peri-urban vegetable farmers in Kenya. Results show that there are significant differences in the percentage of output sold, distance from farm to market, and the unit price of sale for output between the Rural and Peri-Urban areas. These findings demonstrate the urgent need for appropriate statistical evidence to improve disaggregated analyses of agricultural market participation in different systems and environments. This would enable targeting of development strategies to effectively address the changing agricultural landscape; particularly enhancing food supply and ensuring better farm incomes. There is need to improve market information provision, develop farmers' business skills, improve roads and or support establishment of high value vegetable market outlets at different scales in Rural and Peri-Urban areas. Aimée Hampel-MilagrosaThis study examines vegetable production and marketing among indigenous communities in northern Philippines using an institutional economics approach. It develops a framework that analyses the four levels of institutions; Social Embededdness, Institutional Environment, Governance Structures and Resource Allocation alongside the Structure, Conduct and Performance of the vegetable sector. Using this integrated framework, the thesis engages on a range of topics from the structure of the sector to sales and margins, from trust to favoured-buyer systems and from transaction cost analysis to farmer's decision-making processes. Also, a framework that aligns efficient contract types with governance structures based on observable transaction attributes was developed. The modeling approach that determines how farmers choose trading partners based on farm and farmer characteristics, transaction attributes and social capital was likewise used. The first important finding of the study is that a dual structure - in terms of farm-size and total sales - exists in the province. On the one hand, several small farmers own small farm sizes and share a small percentage of total market sales. On the other hand, a few big farmers own big farms and share a big percentage of total market sales. Three governance structures dominate trade; the most common are commissioner-based followed by wholesaler and contractor-based organization. Another important finding of the research is that many farmers turn to wholesalers for loans because of difficulties accessing or complying with formal credit institutions. At harvest time the repayment scheme forces farmers into trading arrangements with wholesalers which in turn, lowers search, negotiation and enforcement costs. This locked-in effect reduces trading alternatives for farmers and lowers total transaction costs. Not surprisingly, wholesaler-based governance structure is the most efficient marketing arrangement from a transaction costs perspective. A third important finding of the thesis is that the social capital of farmers and traders in the province, aggregated from scores on trust, associatedness, common goals and optimism, is low. Current social capital is ineffective in facilitating market information exchange and providing countervailing power to farmers in selling crops. With regards to decision-making, the study showed that farmers with relatively higher social capital select traders differently from farmers with lower social capital. Moreover, ethnicity is a significant factor that influences trust, volunteerism and social networking as well as trading partner selection. This thesis shows that bringing in social elements such as social capital and culture in institutional economic analysis yields richer results in the explanation of behaviour of the market and its IrawanGenerally, price fluctuation of vegetables is higher than fruits, paddy and secondary crops, meaning that the imbalance of supply volume and consumer needs is frequently occurred on vegetables. Marketing margin of vegetables is also relatively high. In contrast, however, the price received by the farmers and price transmission from consumer's area to producer's region is low. This condition is not conducive for efforts to develop agribusiness and to increase produce's quality competitiveness characterized by the ability to respond to effective market dynamics. In this context, there are some aspects that should be carefully considered a developing vegetable's synchronized production across the producer's regions, b developing vegetables production centers spread across the regions, c developing simple and efficient storage technology along with facilities for farmers to apply such technology, and d facilitating the farmers to have more accessibility to capital analytical framework and ranking system is developed to summarize the primary factors affecting marketing channel performance and to prioritize those channels with the greatest opportunity for success. An application of the model is conducted using case-study evidence from four small-scale diversified vegetable crop producers in Central New York. The relative costs and benefits of alternative wholesale and direct marketing channels are investigated, including how the factors of risk, owner and paid labor, profits, lifestyle preferences and sales volume interact to impact optimal market channel selection. Given the highly perishable nature of the crops grown, along with the risks and potential sales volume of particular channels, a combination of different marketing channels is needed to maximize overall firm Pemasaran Senyawa fenolik pada beberapa sayuran indigeneus dari indonesiaSitti ArwantiArwanti, Sitti. 2016. Sistem Pemasaran Senyawa fenolik pada beberapa sayuran indigeneus dari indonesia. Seafast Center. review vegetables and fruit in the prevention of cronick diseasesH BoeingBechtholdBubEllingerHallerKrokeLeschik-BonnetH MullerM OberriterP SchulzeStehleBoeing H,A Bechthold,A Bub, S Ellinger, D Haller, A Kroke, E Leschik-Bonnet, MJ Muller, H Oberriter, M Schulze, P Stehle, B Watzl. 2012. Critical review vegetables and fruit in the prevention of cronick diseases. Eur. J. Nutr 51 marketing strategies to increase vegetable consumptionJ C DarianL TucciDarian J. C., Tucci L., 2013. Developing marketing strategies to increase vegetable consumption. Journal of Consumer Marketing 427-435 30 Maret 2013. ISSN 0736-3761. DOI Entorcement of Traditional Vegetable Marketing Contracts in the Eastern and Central Parts of EthiopiaHaji JemaHaji Jema, 2010. Te Entorcement of Traditional Vegetable Marketing Contracts in the Eastern and Central Parts of Ethiopia. Journal of African Economies, Vol. 19, number 5, pp. 768-792 doi online date 6 May Agribisnis Holtikultura Terintegrasi Dengan Basis Kawasan PasarB IrwanIrwan, B, 2003. Membangun Agribisnis Holtikultura Terintegrasi Dengan Basis Kawasan Pasar. Forum Peneliti Agro Ekonomi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian 2006 dan Prospek 2007. Jakarta, 20 Desember Strategis Kementerian PertanianKementerian PertanianKementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014. Kementerian Pertanian, Jakarta. disalurkanlangsung di pasar Tawangmangu. Pasar Tawangmangu terdapat berbagai macam pedagang yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga, salah satunya yaitu pedagang sayur. Pedagang sayur memiliki peranan kecil dalam kegiatan pasar Tawangmangu, karena pedagang sayur di pasar ini berada diurutan ketiga yaitu sebanyak 69 pedagang pasar bunga bandunganLokasinya kurang lebih 7 km dari Kota Ambarawa yaitu di tepi Gunung Ungaran dengan tinggi 900 meter di atas permukaan air laut. Suasana tempat ini sangat indah dengan udara yang segar membuat anda rileks. Kegiatan menarik yang dapat anda lakukan ketika berkunjung ke obyek wisata yang satu ini adalah horsen tour guna melihat keindahan bunga, sayuran, serta rempah yang ada di yang tersedia di lokasi ini antara lain adalah penginapan, hotel, bungalow, pasar buah, serta pasar tradisional yang menjual beraneka ragam barang dan makanan seperti susu kacang segar dan kue kacang. Berjalan sejauh beberapa kilometer dari lokasi ini ada peternakan dengan bukit-bukit yang bertingkat-tingkat serta dapat anda lihat juga tanaman satu tempat produksi utama bunga potong yang ada di Jawa Tengah berada di Bandungan ini. Beberapa jenis bunga yang ada di sini antara lain adalah krisan, lili, gladiol, amarilis, mawar, aster, gerbera, dahlia, tagetes, dan lain sebagainyaJika Anda pecinta bunga, maka tak ada salahnya jika saya rekomendasikan berkunjung ke Bandungan. Karena di sini sungguh luar biasa indahnya. Udara yang sejuk membuat badan menjadi segar. Bandungan adalah daerah di kaki gunung Ungaran di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah Jateng. Di Bandungan Anda dapat merasakan sejuknya udara pegunungan. Bandungan terletak di pegunungan, dengan jarak sekitar 3 km dari Candi Gedong Songo. Anda juga bisa melihat suasana gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Ungaran, gunung Sindoro, dan gunung Bandungan sungguh menarik dikunjungi. Pasar ini sering diseebut Pasar Kembang Bandungan, ada pula yang menyebut Pasar Sayuran Bandungan, karena memang pasar ini merupakan sentra penjualan bunga-bunga potong dan sayur-mayur segar khas daerah lereng pegunungan. Meski hanya sebuah pasar tradisional biasa, Pasar Bandungan sangat populer sebagai pasar wisata. Para pelancong yang berkunjung ke Bandungan, umumnya tidak melewatkan kesempatan untuk mampir berbelanja. Sayur-mayur yang dijual di pasar ini memang relatif murah dan masih terlihat sangat segar karena memang baru saja di panen oleh para petani disana. Orang yang menyukai bunga, maka ia akan merasa senang dan hatinya tenteram manakala di melihat bunga-bunga yang indah. Selain indah dipandang, bunga-bunga yang cantik juga melambangkan romantis pada pasangan. Bunga biasanya digunakan untuk mengungkapkan rasa cinya pada pasangannya. Acara makan malam yang disajikan dengan bunga mawar merah juga diyakini membuat suasana menjadi akan terkesima jika sudah tiba di Bandungan. Di sini Anda tidak perlu khawatir untuk penginapan. Banyak hotel melati yang ada di Bandungan. Anda bisa dengan sesuka Anda menikmati suasana liburan dia akhir tahun atau pada saat liburan anak sekolah. Jika ke Bandungan jangan lupa pergi ke pasar bunga Bandungan. Di pasar ini dekat dengan pasar tradisional Bandungan. Meskipun pasar bunganya tidak besar, namun bagi Anda pecinta bunga akan merasa senang jika melihat bunga-bunga yang cantik. Jika ke pasar bungan Bandungan, jangan sampai di atas pukul karena pasar sudah bubar. Anda harus datang dari pukul sampai sebelum pukul Selain bunga potong, di pasar ini juga akan menemukan deretan kios-kios pedagang tanaman hias yang terlihat segar, asri mempesona. Mereka berjajar di sisi kanan jalan setelah pasar menuju ke arah lokasi wisata Candi Gedong Songo. Aneka macam bunga anggrek, terutama phalenopsis dan dendrobium dipajang di sana. Harganya tidak jauh beda dengan harga di kota besar seperti Semarang. Daerah seperti Bandungan memang ideal bagi pertumbuhan tanaman hias berbunga, khas habitat iklim dingin pegunungan. Namun sebaiknya berhati-hati jika ingin membelinya, karena jenis-jenis tanaman hias berbunga ini belum tentu cocok di tanam di rumah anda. Sayang sekali kan, kalau sampai di rumah, tanaman akan ngambek berbunga, atau bahkan mati karena lingkungan suhu dan ketinggian tempat yang berbeda dengan di tempat tinggal anda. Buah-buahan yang paling populer dari daerah Bandungan adalah kelengkeng. Jika anda perhatikan di sepanjang jalan, anda akan menemukan hampir di setiap halaman rumah penduduk terdapat pohon kelengkeng berbatang besar-besar dan terlihat sangat tua. Tanaman kelengkeng memang telah lama di budidayakan di Bandungan, rasanya manis, harum, dan daging buahnya relatif tebal, meskipun tidak setebal kelengkeng impor yang banyak beredar di Anda dari arah timur, lewat timur dan utara melewati Kota Semarang, maka Anda harus menuju ke arah terminal Bawen dulu terus ke arah Bandungan. Jika Anda dari arah selatan seperti Solo dan Jogja, Anda bisa melewati Salatiga dan ikuti ke jalah arah ke Ambarawa. Jika Anda dari arah barat, maka Anda bisa lewat temanggung dan menuju ke BandunganBACA JUGAJalanPegunungan Arfak Mulus, Pasar Sayur dan Wisata Terbuka Lebar. 05/09/2018. M ulusnya jalan dari dan ke Kabupaten Pegunungan Arfak akan membuka lebar derap ekonomi di daerah tersebut, khususnya pasar sayur mayur dan pariwisata.
Ya termasuk pasar karena namanya adalah pasar tempat untuk menjual dan membeli jadi pasar sayuran yang ada di atas gunung bisa disebut pasar karena ada aktivitas menjual dan membeli sayuran BazarRamadhan yang digelar Komunitas Pedagang Antik Yogyakarta (Kompak Yo) di Pasar Seni dan Wisata Gabusan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, selama bulan puasa 2022 diharapkan dapat mendukung upaya pemulihan ekonomi pelaku usaha kecil dan menengah wilayah ini. "Kegiatan bazar itu merupakan salah satu upaya pemulihan ekonomi dalamSayuran indijenes memegang peranan penting dalam pertanian dan konsumsinya semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya restaurant-restauran Sunda. Kemangi merupakan sayuran yang potensial dalam kontribusinya terhadap peningkatan pendapatan petani di perdesaan dan meningkatkan gizi keluarga. Tanaman ini mudah ditanam dan hanya memerlukan input eksternal yang rendah, dibandingkan dengan sayuran eksotis. Namun, meskipun tanaman ini penting, kemangi tidak cukup berorientasi pasar karena kecilnya daya saing petani dan terbatasnya produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur pasar sayuran kemangi. Data dikumpulkan dari 42 orang petani kemangi di Kecamatan Kadudampit Desa Undruswinangun dan Sukamaju yang diambil secara acak sederhana simple random sampling, dan 29 orang pedagang yang diambil secara snowball sampling. Data dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif. Analisis yang digunakan adalah pangsa pasar, konsentrasi pasar CR, HHI Herfindal-Hirscman Index, karakteristik produk, dan hambatan masuk pasar. Hasil penelitian menemukan bahwa pemasaran sayuran kemangi di Kecamatan Kadudampit didominasi oleh empat pedagang pengumpul desa terbesar dengan angka Concentration Ratio CR4 sebesar 81%. Nilai Herfindahl-Hirscman-Index sebesar 0,17 menunjukkan struktur yang terbentuk cenderung mengarah kepada kondisi pasar oligopoli dari sisi penjual sedangkan oligopsoni dari sisi pembeli. Nilai MES yang diperoleh di atas nol MES>0 menunjukkan terdapat hambatan masuk pasar, dan karakteristik sayuran kemangi di Kecamatan Kadudampit bersifat homogen. Untuk meningkatkan posisi tawar petani, disarankan untuk membentuk kelompok tani kemangi, dan petani aktif mencari informasi kunci Indijenes, Herfindal-Hirscman Index, Oligopoly. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jurnal Agribisains ISSN 2550-1151 Volume 4 Nomor 2, Oktober 2018 STRUKTUR PASAR SAYURAN KEMANGI DI PASAR TRADISIONAL W. Nahraeni1a, A. Rahayu2, A. Yoesdiarti1 dan IA. Kulsum1 1Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Djuanda Bogor 2Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Djuanda Bogor Jl. Tol Ciawi No 1 Universitas Djuanda Bogor Kode Pos 16720 aKorespondensi Wini Nahraeni. Telp 08129682305; E-mail ABSTRAK Sayuran indijenes memegang peranan penting dalam pertanian dan konsumsinya semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya restaurant-restauran Sunda. Kemangi merupakan sayuran yang potensial dalam kontribusinya terhadap peningkatan pendapatan petani di perdesaan dan meningkatkan gizi keluarga. Tanaman ini mudah ditanam dan hanya memerlukan input eksternal yang rendah, dibandingkan dengan sayuran eksotis. Namun, meskipun tanaman ini penting, kemangi tidak cukup berorientasi pasar karena kecilnya daya saing petani dan terbatasnya produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur pasar sayuran kemangi. Data dikumpulkan dari 42 orang petani kemangi di Kecamatan Kadudampit Desa Undruswinangun dan Sukamaju yang diambil secara acak sederhana simple random sampling, dan 29 orang pedagang yang diambil secara snowball sampling. Data dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif. Analisis yang digunakan adalah pangsa pasar, konsentrasi pasar CR, HHI Herfindal-Hirscman Index, karakteristik produk, dan hambatan masuk pasar. Hasil penelitian menemukan bahwa pemasaran sayuran kemangi di Kecamatan Kadudampit didominasi oleh empat pedagang pengumpul desa terbesar dengan angka Concentration Ratio CR4 sebesar 81%. Nilai Herfindahl-Hirscman-Index sebesar 0,17 menunjukkan struktur yang terbentuk cenderung mengarah kepada kondisi pasar oligopoli dari sisi penjual sedangkan oligopsoni dari sisi pembeli. Nilai MES yang diperoleh di atas nol MES>0 menunjukkan terdapat hambatan masuk pasar, dan karakteristik sayuran kemangi di Kecamatan Kadudampit bersifat homogen. Untuk meningkatkan posisi tawar petani, disarankan untuk membentuk kelompok tani kemangi, dan petani aktif mencari informasi pasar. Kata kunci Indijenes, Herfindal-Hirscman Index, Oligopoly. PENDAHULUAN Peluang pengembangan sayuran indijenes memiliki prospek yang baik, seiring dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya restaurant- restauran Sunda. Tanaman indijenes mudah ditanam, toleran terhadap berbagai kondisi tanah dan iklim, resisten terhadap hama dan penyakit dan dapat menambah pendapatan keluarga. Selain itu tanaman indijenes mampu tumbuh dengan input eksternal yang rendah 1 Upaya pengembangan sayuran indijines juga dilakukan sebagai alternatif sumber mikronutrien zat berkhasiat murah dan sekaligus memperkuat basis ketahanan pangan 2 Kemangi merupakan salah satu jenis sayuran indijenes yang mempunyai banyak manfaat dan permintaannya relatif lebih besar dari sayuran indijenes lainnya. Salah satu sentra produksi kemangi di Kabupaten Sukabumi adalah Kecamatan Kadudampit. Meskipun kemangi ini cukup berkontribunsi terhadap pendapatan, namun petani belum berorientasi pasar. Proses pemasaran kemangi mempunyai keunikan, di antaranya fluktuasi harga yang relatif stabil, dan cara menjual berbeda dengan sayuran pada umumnya sebab kemangi dijual per gabung, per ikat, hingga per gantil jika sudah sampai ke tingkat pedagang keliling. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan harga yang relatif tinggi dari pedagang pengumpul sampai pedagang eceran. Selain itu terbatasnya akses petani ke pasar, informasi pasar yang kurang, dan skala usaha yang relatif kecil menjadikan dukungan yang ditawarkan terbatas. Struktur pasar adalah penggolongan pasar berdasarkan strukturnya yang dapat dilihat dari jumlah produsen dan konsumen, karakteristik produk, mudah tidaknya keluar masuk pasar, dan ada tidaknya informasi pasar Case and Fair 2012, Pindyct dan Rubinfield 2009. Dengan mengetahui struktur pasar, maka dapat dilihat apakah pasar mengarah ke pasar persaingan sempurna perfect market atau persaingan tidak sempurna imperfect market. Studi yang dilakukan oleh Kirsten 2010 menyatakan bahwa akses ke pasar merupakan factor penting untuk meningkatkan kinerja petani skala kecil di negara berkembang. Sementara itu penelitian Erwidodo 2013 menyatakan bahwa struktur pasar kentang, bawang merah dan kubis adalah pasar persaingan sempurna, yang dicirikan oleh banyaknya pembeli dan penjual dan pembeli secara perorangan tidak dapat sesukanya menentukan harga di pasar. Penelitian struktur pasar sayuran indijenes khususnya kemangi relatif terbatas, oleh karena itu penelitian struktur pasar sayuran kemangi perlu dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan posisi tawar petani. Pasar adalah penghubung antara produsen dan konsumen, tanpa pasar petani tidak akan memiliki insentif untuk terlibat dalam produksi tanaman kemangi. Dalam memasarkan produknya, petani di Kecamatan Kadudampit masih belum berorientasi pasar. Hal ini terlihat dari kurangnya partisipasi mereka dalam memasarkan kemanginya dan masih beroperasi pada kondisi yang homogen, sehingga posisi tawar menjadi rendah. Petani hanya menerima harga yang ditawarkan para pedagang pengumpul karena kurangnya informasi pasar. Pertanyaannya adalah bagaimana struktur pasar yang ada dapat mempengaruhi harga pada berbagai lembaga dalam rantai pemasaran? Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur pasar sayuran kemangi di Kecamatan Kadudampit Sukabumi Jawa Barat. BAHAN DAN METODE Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilaksanakan di Kecamatan Kadudampit pada bulan April sampai Mei 2017. Desa Sukamaju dan Desa Undrus Binangun dipilih sebagai sampel desa. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja purposive, dengan pertimbangan kedua desa tersebut merupakan sentra produksi kemangi di Kabupaten Sukabumi. Jurnal Agribisains ISSN 2550-1151 Volume 4 Nomor 2, Oktober 2018 Metode Pengambilan Sampel Pengambilan petani sampel dilakukan dengan menggunakan metode acak sederhana simple random sampling, dengan jumlah petani yang diambil sebagai sampel sebanyak 42 orang. Pengambilan responden pedagang dilakuka dengan metode snowball sampling Jumlah pedagang yang diambil responden sebanyak 29 orang, yang terdiri atas 6 pedagang pengumpul desa, 6 pedagang besar dan 17 pedagang pengecer. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diambil dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner yang telah ditetapkan terlebih dahulu, sedangkan data sekunder diambil dari BPS, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Jurnal dan literatur lainnya. Data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dan kuantitatif, dan diolah dengan menggunakan excel dan SPSS 21. Beberapa alat analisis struktur pasar adalah 1. Pangsa Pasar Pangsa pasar digunakan untuk mengetahui seberapa besar cakupan suatu industri di pasaran. Pangsa pasar dapat diukur dengan menggunakan rumus Dahl, Hammond. 1977 Market Share MS = Si / ST Keterangan MS = 0 – 100 %; Si = Penjualan pedagang pengumpul terbesar ke i ST = Penjualan total sayuran kemangi di Kecamatan Kadudampit. 2. Konsentrasi Pasar Konsentrasi pasar mengukur berapa jumlah output yang diproduksi dari empat perusahaan terbesar dalam sebuah industri Baye, 2010. Konsentrasi pasar dapat diukur dengan rumus Keterangan CR4 = Tingkat Konsetrasi Pasar Wi = Si/ ST ; I = 1,2,3,4 3. HHI Herfdinal-Hirscman Index Selain menggunakan persamaan 2, konsentrasi pasar dapat dihitung dengan menggunakan HHI Herfdinal-Hirscman Index. HHI merupakan penjumlahan kuadrat dari pangsa pasar petani dalam suatu industri dikalikan dengan Adapun perhitungan HHI yaitu HHI = Ʃ wi2 Keterangan HHI = Herfindahl Hirschman Index; wi2 = Pangsa pasar 4. Hambatan Masuk Pasar Hambatan masuk pasar dianalisis dengan menggunakan Minimun Effisiency Scale MES Wahyuningsih, 2013. Nilai MES dapat diketahui melalui rumus sebagai berikut HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Sampel Berdasarkan hasil penelitian, dari 42 orang petani sampel, sebagian besar petani 33% berada pada kelompok umur antara 51-60 tahun, 86% petani berjenis kelamin laki-laki, berpendidikan SD /sederajat 55%, pengalaman berusaha tani sekitar 10 tahun lebih 81%, sedangkan pengalaman usahatani sayuran indigenous khususnya kemangi, sebagian besar petani mempunyai pengalaman berusahatani 1 – 5 tahun 50%. Berdasarkan jumlah tanggungan keluarga, persentase terbesar yaitu sebanyak 48% mempunyai jumlah tanggungan keluarga 0 sampai 2 orang dan 3 sampai 5 orang. CR4 = S1 + S2 + S3 + S4 / ST atau Karakteristik Responden Pedagang Lembaga pemasaran yang terlibat adalah pedagang pengumpul desa PPD, pedagang besar PD dan pengecer. Berdasarkan umur, sebagian besar 83% PPD berumur antara 20-40 tahun, hampir sama dengan pedagang besar PB, namun umur pengecer sebagian besar berumur lebih dari 40 tahun. PB dan pengecer mempunyai pengalaman berdagang 6-10 tahun 33,3% dan 35,3%, sedangkan sebagian besar PPD mempunyai pengalaman berdagang 11-15 tahun. Tingkat pendidikan PPD sangat bervariasi yaitu tamat Sekolah Dasar SD 4 orang, tamat SLTP/sederajat 1 orang, dan tamat SLTA/sederajat 1 orang, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan rata-rata pedagang pengumpul desa adalah tamat Sekolah Dasar SD yaitu sebesar 66,7%. Tabel 1 Karakteristik Lembaga Pemasaran di Kecamatan Kadudampit, 2017 Pengalaman Berdagang Tahun Pengalaman Berdagang Sayuran Indigenous Tahun Sebagai Pekerjaan Sampingan Jumlah Tanggungan Keluarga Jurnal Agribisains ISSN 2550-1151 Volume 4 Nomor 2, Oktober 2018 Berdasarkan jenis pekerjaan, baik PPD maupun PB menyatakan bahwa berdagang sayuran merupakan pekerjaan utama 100%, namun 11,8% pendagang pengecer menyatakan sebagai pekerjaan sampingan, kedua sampel tersebut memiliki pekerjaan utama sebagai pedagang ayam potong dan es. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian menjadi sektor yang memiliki andil besar dalam membangun perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Market Structure Struktur Pasar Konsentrasi Pasar Perhitungan konsentrasi pasar atau market concentration CR dilakukan pada pedagang pengumpul di tingkat dusun atau desa Wahyuningsih, 2013. Tabel 2 menyajikan volume penjualan pedagang pengumpul desa sayuran kemangi di Kecamatan Kadudampit. Tabel 2. Volume Penjualan Kemangi di Seluruh Pedagang Pengumpul Desa Kecamatan Kadudampit, 2017 Pedagang Pengumpul Desa PDD Total penjualan seluruh PDD Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan nilai CR4 pedagang pengumpul desa sayuran kemangi di Kecamatan Kadudampit tahun 2017 diperoleh angka 81%, angka ini menujukkan bahwa pemasaran sayuran kemangi di Kecamatan Kadudampit didominasi oleh empat pedagang pengumpul desa terbesar . Tabel 3. Volume Penjualan, Pangsa pasar, dan Rasio Empat Pedagang Pengumpul Desa CR4 untuk Periode Produksi Kemangi selama Enam Bulan di Kecamatan kadudampit, 2017 Menurut Baye 2010 nilai CR4 yang mendekati 1 mengindikasikan bahwa pasar terkonsentrasi, artinya lebih sedikit jumlah penjual dibandingkan jumlah pembeli. Angka ini menunjukkan bahwa terdapat persaingan yang kecil antar pedagang. Di daerah penelitian, hal ini disebabkan oleh eratnya hubungan langganan antara penjual dan pembeli. Perhitungan konsentrasi pasar dilakukan juga menggunakan Herfindahl-Hirscman-Index HHI. Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai HHI yang diperoleh dalam pemasaran sayuran kemangi di Kecamatan Kadudampit lebih besar dari 0, artinya bahwa pasar terkonsentrasi, hal ini sesuai dengan pendapat Baye 2010, jika nilai HHI 0, maka terdapat perusahaan-perusahaan dalam industri yang sangat kecil. Namun, jika nilai di atas 0 hingga 10 000 > mengindikasikan bahwa pangsa pasarnya bernilai 1, artinya CR berada pada sedikit persaingan untuk menjual ke konsumen pasar terkonsentrasi. Tabel 4. Perhitungan Herfindahl-Hirscman-Index di Kecamatan kadudampit Tahun 2017 Struktur pasar yang terbentuk dari pemasaran sayuran kemangi di tingkat pedagang pengumpul desa di Kecamatan Kadudampit cenderung bersifat oligopoli, yaitu pasar dengan beberapa penjual. Hal ini sesuai dengan pendapat Kohls dan Uhl 2002 yang menyatakan bahwa apabila nilai CR4 perusahaan terbesar lebih dari 50 persen >50%, maka struktur yang terbentuk cenderung mengarah kepada kondisi pasar oligopoli dari sisi penjual sedangkan oligopsoni dari sisi pembeli. Indiastuti 2011 memperkuat bahwa ada 6 kategori pasar berdasarkan tingkat persaingan yang diindikasikan oleh penguasaan pangsa pasar yaitu 1. Pure Monopoly, satu perusahaan menguasai pangsa pasar 100 %. 2. Dominant Firm, satu perusahaan menguasai 40-99 %. 3. Tight Oligopoly, empat perusahaan menguasai pangsa pasar lebih dari 60 %. 4. Loose Oligopoly, empat perusahaan menguasai pangsa pasar kurang dari 60 %. 5. Monopolistic Competition, banyak perusahaan bersaing dengan masing-masing memiliki market power yang tidak sama. 6. Pure Competition, banyak perusahaan bersaing dengan masing-masing tidak memiliki market power. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa petani kemangi cenderung bertindak sebagai penerima harga price taker dan posisi tawar bergainning position petani lemah atau kurang memiliki kekuatan dalam menentukan harga jual kemangi. Sedikitnya jumlah pembeli dan semakin terkonsentrasi distribusi pembelian produk, maka semakin tinggi kekuatan pasar yang dimiliki oleh pembeli, sehingga pembeli berperan besar dalam penentuan harga. Atau dapat pula dikatakan semakin sedikit jumlah penjual dibandingkan jumlah pembeli, semakin terkonsentrasi distribusi penjualan produk, maka semakin tinggi pula kekuatan pasar yang dimiliki oleh penjual, dalam keadaan ini penjual berperan besar dalam penentuan harga. Hal ini berarti petani berada pada posisi yang lemah karena petani bertindak sebagai price taker. Pada pemasaran sayuran indigenous kemangi di Kecamatan Kadudampit, kekuatan petani dalam menentukan harga jual cenderung lemah, sebab petani hanya menerima harga price taker yang dibayarkan oleh pembeli PPD, PB, Pengecer setelah kemangi berhasil dipasarkan, sedangkan informasi harga yang diperoleh hanya berupa informasi yang berasal langsung dari mulut pembeli bukan informasi yang berasal dari pasar, oleh karenanya besar kemungkinan Jurnal Agribisains ISSN 2550-1151 Volume 4 Nomor 2, Oktober 2018 terjadinya kepalsuan informasi terutama informasi harga. Ketiadaan lembaga penunjang kegiatan pertanian seperti kelompok tani atau terminal agribisnis semakin lemah penyampaian informasi ke petani. Hambatan Masuk Pasar Menurut keterangan para pedagang pengumpul di Kecamatan Kadudampit, hambatan yang banyak dihadapi dalam memasarakan kemangi adalah banyaknya pedagang yang membeli langsung dari petani baik sesama pedagang pengumpul, pedagang besar, atau pedagang pengecer, sehingga pedagang pengumpul desa yang telah ada bersaing dalam mendapatkan suplai kemangi dari petani ataupun menjual kepada konsumen. Keadaan demikian akan berdampak pada harga yang diterima oleh petani. Hambatan masuk pasar dihitung dengan menggunakan MES Minumum Efficiency Scale MES. Jika nilai MES lebih besar dari 10 persen, mengindikasikan bahwa terdapat hambatan masuk pada pemasaran sayuran kemangi di Kecamatan Kadudampit. Jika hambatan masuk tinggi, maka tingkat persaingannya sangat rendah, dan pasar berada pada kondisi kurang efisien Jaya, 2001. Tabel 5. Nilai MES Pemasaran Sayuran Indgenous Kemangi di Kecamatan Kadudampit, 2017 Berdasarkan hasil analisis nilai MES pemasaran sayuran kemangi di Kecamatan Kadudampit di semua tingkat lembaga pemasaran mempunyai nilai lebih dari 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hambatan masuk pasar pada pemasaran sayuran kemangi di Kecamatan Kadudampit sehingga tidak mudah bagi pesaing baru untuk masuk ke dalam pasar. Sulitnya masuk pasar ini disebabkan oleh kuatnya ikatan antara petani dan pedagang pengumpul desa sebagai langganan. Kuatnya ikatan tersebut disebabkan adanya ikatan modal antara petani dengan pedagang pengumpul desa, dan kuatnya ikatan hubungan kekeluargaan atau tetangga. Besarnya nilai MES yang dihasilkan berbeda antara MES yang dihasilkan di tingkat pedagang pengumpul desa, di tingkat pedagang besar, dan di tingkat pedagang pengecer, hal ini disebabkan adanya perbedaan hambatan untuk masuk pasar pada masing-masing tingkatan. Nilai MES terbesar diperoleh pada tingkat pedagang besar, sebab menjadi pedagang besar selain hambatan yang telah disebutkan, terdapat hambatan modal yang cukup besar. Modal ini digunakan untuk membeli hasil panen petani dan operasional dalam pemasaran, karena volume penjualan pedagang besar relatif lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer. Hal ini juga berdampak pada biaya yang dikeluarkan relatif lebih besar pula sehingga akan mempengaruhi kemampuan pesaing baru untuk masuk ke dalam pasar. Nilai MES terkecil diperoleh pada tingkat pedagang pengecer, sebab di tingkat pedagang pengecer hambatan masuk pasar relatif lebih ringan. Hambatan masuk pasar di tingkat pedagang pengecer sama halnya dengan hambatan di tingkat pedagang pengumpul dan di tingkat pedagang pengecer, akan tetapi ikatan penjual dan pembeli di tingkat pedagang pengecer relatif lebih renggang karena pembeli di pasar bebas memilih melakukan pembelian dengan pedagang pengecer mana pun, namun ada pula sebagian yang melakukan ikatan langganan. Akan tetapi di tingkat pedagang pengecer, volume yang dijual tidak dapat sebesar volume penjual di tingkat pedagang pengumpul desa dan di tingkat pedagang besar, sebab pedagang pengecer menjual langsung kepada konsumen dan pembelian konsumen biasanya lebih sedikit. Hambatan masuk pasar lainnya pada setiap tingkatan lembaga pemasaran adalah berlakunya sistem pembayaran tunda bayar atau bayar kemudian. Pembayaran dengan sistem ini akan menunda perputaran modal yang digunakan dalam usaha terkecuali pemilik modal besar yang dapat menggulirkan modalnya setiap saat. Tertunda atau berkurangnya perguliran modal usaha oleh setiap tingkatan lembaga pemasaran ini akan mengurangi kinerja setiap kegiatan pemasaran, sebagai contoh modal dalam pembelian saprotan, ketika pembayaran ditunda, maka petani akan meminjam modal kepada pihak lain seperti toko saprotan, dan ketika pembayaran dilakukan harga yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan sehingga penerimaan petani berkurang. Karakteristik Produk Produk yang dihasilkan pada pemasaran sayuran kemangi di Kecamatan Kadudampit bersifat homogen. Sukirno 2002, menyebutkan ciri-ciri pasar oligopoly adalah barang yang dihasilkan bersifat homogen atau berbeda corak terdiferensiasi, kekuasaan menentukan harga adakalanya lemah dan adakalanya kuat, pada umumnya perusahaan melakukan promosi dengan iklan. Nuhfil 2009, menyatakan pasar dalam keadaan produk yang dihasilkan bersifat homogen ini dinamakan oligopoli murni pure oligopoly dan apabila produk yang dihasilkan tidak homogen maka pasar dinamakan oligopoli yang dibedakan differentiated oligopoly. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Struktur pasar yang terbentuk dari pemasaran sayuran indigenous kemangi di Kecamatan Kadudampit cenderung mengarah kepada oligopoli. Pasar sayuran kemangi terkonsentrasi dengan persaingan yang cukup tinggi, dengan besarnya nilai CR4 0,81 mendekati 1 dan nilai HHI sebesar di atas 0 hingga 10 000 serta nilai MES seluruh tingkatan lembaga pemasaran lebih besar dari 10 persen. Terdapat hambatan masuk pasar bagi pesaing baru. Karakteristik produk yang diperjualbelikan bersifat homogen. Implikasi Kebijakan Untuk memperkuat posisi tawar petani diharapkan terminal-terminal agribisnis atau kelompok tani dihidupkan dan dikembangkan. Posisi tawar petani yang kuat dapat meningkatkan harga kemangi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan petani kemangi. DAFTAR PUSTAKA Asmayanti. 2012. Sistem Pemasaran Cabai Rawit Merah Capsicum frustescens di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor Bogor. Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. 2015. Analisis Perkembangan Harga Bahan Pangan Pokok di Pasar Domestik dan Internasional. Diakses pada 28 Februari 2017. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2013. Jawa Barat dalam Angka. Diakses pada 13 Desember 2016. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2014. Jawa Barat dalam Angka. Diakses pada 13 Desember 2016. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2016. Kecamatan Kadudampit dalam Angka. Diakses 19 Maret 2017. Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Harga Produksi pertanian Subsektor Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Tanaman Perkebunan Rakyat. Diakses pada 03 Agustus 2017. Jurnal Agribisains ISSN 2550-1151 Volume 4 Nomor 2, Oktober 2018 Baye, M. 2010. Managerial Economics and Business Strategy. Seventh Edition. McGraw-Hill Irwin Singapura. Case, Fair, and Oster, 2012. Principles of Economics Tenth Edition. Prentice Hall New York. Dahl, Hammond. 1977. Market and Price Analysis. New York MC. Graw Hill. Direktorat Jenderal Hortikultura Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2014. Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Hortikultura Tahun 2014. Jaya, 2001. Ekonomi Industri. Edisi Kedua. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Kementrian Pertanian. Rencana Strategis Kementrian Pertanian Tahun 2015-2019. Limbong, Sitorus, P. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Pindyct and Rubinfield. 2009. Microeconomics. Fifth Edition. Prentice Hall New York. Nuhfil, K. 2009. Struktur Pasar. Diakses Pada 17 Agustus 2017. Profil Desa Undrus Binangun. 2017. Wahyuningsih. 2013. Sistem Pemasaran Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan Struktur, Perilaku, dan Keragaan Pasar. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Bogor. ... Hasil perhitungan MES 473 lebih besar dari 10 persen, dalam hal ini berarti bahwa terdapat hambatan yang tinggi dalam kegiatan keluar masuk pasar sapi di Desa Blaban. Apabila hambatan tinggi maka tingkat persaingan juga tinggi dan kondisi pasar kurang efisien Nahraeni et al., 2019. Hal ini menyatakan bahwa terdapat hambatan yang tinggi untuk pesaing baru yang masuk pasar sapi di Desa Blaban. ...... Produksi garam yang tidak menentu yang dipengaruhi oleh cuaca dan harga garam yang berfluktuasi mengakibatkan petani kurang sejahtera. Menurut Nahraeni et al 2019, kurangnya informasi pasar juga membuat posisi tawar petani sangat rendah sehingga petani hanya berperan sebagai penerima harga price taker. ...Ida Ayu Maharani Gusti Ayu Agung Lies Anggreni Listia Dewip>Garam merupakan komoditi yang sangat potensial dan strategis untuk dikembangkan di Indonesia. Desa Les merupakan desa penghasil garam tradisional di Kabupaten Buleleng. Keadaan geografis Desa Les yang dekat dengan pantai menjadi salah satu faktor pendorong bagi masyarakat sekitar untuk melakukan usaha produksi garam. Aspek tataniaga merupakan hal penting dalam mendukung peningkatan pendapatan petani garam. Panjang pendeknya saluran tataniaga mempengaruhi banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat dan besarnya biaya tataniaga yang dikeluarkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui saluran tataniaga garam, struktur pasar, perilaku pasar garam, dan efisiensi tataniaga garam. Data penelitian ini dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Responden penelitian berjumlah 20 orang, terdiri dari 10 orang petani dan 10 orang lembaga tataniaga. Penentuan responden petani menggunakan metode Simple Random Sampling sedangkan penentuan jumlah responden lembaga tataniaga menggunakan teknik Snowball Sampling. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat empat saluran tataniaga yang terlibat. Struktur pasar garam mengacu pada struktur pasar oligopoli. Saluran tataniaga tingkat 0 merupakan saluran terpendek dan paling efisien dengan margin tataniaga sebesar Rp. 0/kg dan farmer’s share sebesar 100% hal ini disebabkan karna tidak adanya lembaga tataniaga yang terlibat. Rasio keuntungan dan biaya terbesar ada pada saluran 2 yaitu sebesar 1,8. KBRN Kendal : Memasuki bulan Ramadan, harga berbagai jenis sayuran di Pasar Kendal mengalami kenaikan.Jenis sayuran yang naik harga, di antaranya bunga kol, kapri, caisim, termasuk terong dan timun. Pedagang di Pasar Kendal, Janah mengatakan, harga bunga kol yang Sayuran merupakan produk hortikultura yang mengalami tingkat fluktuasi harga yang tinggi karena sifatnya yang perishable. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara volume pasokan dan kebutuhan konsumen lebih sering terjadi pada komoditas sayuran dimana transmisi harga sayuran relatif rendah dibanding buah dan komoditas pangan lain Irawan, 2007. Khusus untuk pasar kentang yang terintegrasi akan membantu produsen dan konsumen, karena rantai pasokan yang ada dapat mentransmisikan sinyal harga secara benar. Sebagai konsekuensi dari kondisi ini, konsumen di pasar tertentu tidak perlu membayar lebih mahal dan produsen dapat melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan komparatifnya Adiyoga, et al. 2006. Dilihat dari usahatani komoditas kentang dan kubis yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, akan lebih menguntungkan untuk meningkatkan produksi dalam negeri dibandingkan impor. Meskipun usahatani kentang dan kubis di lokasi penelitian memiliki keunggulan komparatif, tetapi apabila tidak dilakukan beberapa langkah pembenahan maka tidak akan dapat mewujud dalam keunggulan kompetitif, terutama orientasi untuk pasar ekspor. Untuk orientasi substitusi impor, kondisinya rawan karena petani mengalami disinsentif dalam berusahatani kentang dan kubis Saptana, et al. 2002. Di dalam usahtani kubis, faktor produksi ditingkat petani penggunaan pupuk ZA dan KCl belum efisien sehingga perlu ditingkatkan penggunannya Nurmalina dan Ameriana, 1995. Menurut Karmina dan Aisyah 2008 luas lahan yang diusahakan responden untuk usahatani tomat dan mentimun masih rendah dibandingkan dengan luas lahan optimal yang dapat di capai oleh responden dengan tenaga kerja yang tersedia. Luas lahan optimal tersebut dapat dicapai responden jika melakukan peningkatan luas lahan ekstensifikasi pertanian. Menurut Irawan 2007 yang menganalisis fluktuasi harga, transmisi harga dan marjin pemasaran sayuran dan buah. Alat analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan koefisien Variasi untuk menganalisis fluktuasi harga. Analisis lebih fokus pada aspek-aspek yang hanya dilakukan pada 15 komoditas hortikultura unggulan nasional yaitu bawang merah, cabai, kentang, kubis, pisang dan jeruk. Disamping itu, analisis yang sama juga dilakukan untuk komoditas padi dan palawija sebagai pembanding. Komoditas palawija yang dimaksud meliputi jagung, kacang tanah dan ubi kayu. Hasil penelitian menyatakan bahwa fluktuasi harga sayuran umumnya relatif tinggi dibanding buah, padi dan komoditas palawija. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara volume pasokan dan kebutuhan konsumen lebih sering terjadi pada komoditas harga sayuran relatif rendah 49 hingga 55 persen dibanding buah dan komoditas pangan lain 65 hingga 81 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pasar sayuran di tingkat petani cenderung bersifat monopsoni/ adanya kekuatan monopsoni tersebut adalah marjin pemasaran sayuran cenderung tinggi dibanding buah dan komoditas pangan lain, sebaliknya harga yang diterima petani cenderung rendah 52-57 persen dari harga konsumen pada sayuran, dan 72-86 persen pada buah, padi dan palawija. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya harga yang diterima petani sayuran adalah ketidakmampuan petani menahan penjualannya untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dan hal ini dapat didorong oleh tiga faktor yaitu desakan kebutuhan modal usahatani, keterbatasan teknologi efisien yang dapat diterapkan petani untuk mempertahankan kesegaran sayuran, dan keterbatasan sumber pendapatan diluar usahatani sayuran. Adiyoga, et al. 2006 yang melakukan penelitian integrasi pasar kentang di Indonesia analisis korelasi dan kointegrasi, yang menggunakan pendekatan korelasi statik untuk mengukur integrasi pasar spasial produk-produk pertanian dan pendekatan two step Engle-Granger EG. Hasil penelitian menyatakan bahwa koefisien korelasi bukan indikator yang konsisten atau tegas untuk menentukan integrasi pasar. Korelasi bivariat yang tinggi antara dua pasar yang tidak melakukan perdagangan satu sama lain masih tetap dimungkinkan, jika harga-harga di setiap pasar berkorelasi tinggi melalui hubungan harga dan perdagangan dengan suatu pasar destinasi gabungan pasar ketiga. Hasil penelitian menyarankan agar pendekatan korelasi sebagai alat diagnosa integrasi pasar, sebaiknya digunakan secara hati-hati karena berbagai bukti kelemahan yang melekat pada pendekatan tersebut. Penggunaan analisis kointegrasi dengan 16 pendekatan two step Engle-Granger terhadap data serial harga harian, mingguan dan bulanan secara konsisten mengindikasikan bahwa pasar kentang di Jakarta, Bandung, Sumatera Utara dan Singapura terintegrasi. Kointegrasi dalam hal ini merupakan implikasi statistik dari adanya hubungan jangka panjang antara peubah-peubah ekonomi harga. Hubungan jangka panjang tersebut mengandung arti bahwa peubah harga bergerak bersamaan sejalan dengan waktu. Pasar kentang yang terintegrasi seperti ini akan banyak membantu produsen dan konsumen, karena rantai pasokan yang ada dapat mentransmisikan sinyal harga secara benar. Sebagai konsekuensi dari kondisi ini, konsumen di pasar tertentu tidak perlu membayar lebih mahal dan produsen dapat melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan komparatifnya. Hal ini pada gilirannya akan mengarah pada penggunaan sumber daya yang lebih efisien. Saptana, et al. 2002 yang meneliti tentang analisis keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas kentang dan kubis di Wonosobo Jawa Tengah dengan menggunakan alat analisis matrik Policy Analysis Matrix PAM. Berdasarkan analisis biaya dan keuntungan secara private menunjukkan bahwa usahatani komoditas kentang dan kubis di Wonosobo, baik pada MH maupun MK secara private menguntungkan. Sementara itu, analisis biaya dan keuntungan secara sosial atau ekonomik menunjukkan bahwa pengusahaan usahatani komoditas kentang dan kubis secara ekonomik menguntungkan. Besarnya keuntungan private yang dinikmati oleh petani, baik pada komoditas kentang maupun kubis adalah lebih rendah dari keuntungan ekonomiknya. Fenomena tersebut merupakan indikasi bahwa harga input yang dibayar petani lebih tinggi dan atau harga output yang diterima oleh petani lebih rendah dari harga sosial. Artinya petani di lokasi penelitian Wonosobo mengalami disinsentif dalam memproduksi komoditas kentang maupun kubis. Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani komoditas kentang dan kubis memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang ditunjukkan oleh sebagian besar nilai koefisien DRC <1 dan PCR<1. Artinya untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah pada harga sosial dan privat diperlukan penggunaan sumber daya domestik lebih kecil dari satu. Sehingga untuk lokasi penelitian Wonosobo, Jawa Tengah akan lebih menguntungkan untuk meningkatkan produksi dalam 17 negeri dibandingkan impor. Meskipun usahatani kentang dan kubis di lokasi penelitian memiliki keunggulan komparatif, tetapi apabila tidak dilakukan beberapa langkah pembenahan maka tidak akan dapat mewujud dalam keunggulan kompetitif, terutama jika orientasinya adalah pasar ekspor. Untuk orientasi substitusi impor, kondisinya rawan karena petani mengalami disinsentif dalam berusahatani kentang dan kubis. Jika kondisi disinsentif tersebut berlangsung permanen dalam jangka waktu dua sampai tiga tahun mendatang, barangkali pengusahaan komoditas kentang dan kubis di lokasi yang diteliti tidak akan berkelanjutan. Nurmalina dan Ameriana 1995 dalam penelitiannya mengenai efisiensi penggunaan faktor produksi dalam usahatani kubis ditingkat petani, yang menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Terdapat delapan Variabel yang mempengaruhi produksi kubis, antara lain bibit, tenaga kerja, ZA, TSP, KCl, pupuk kandang, insektisida, dan fungisida. Diantara beberapa input yang berpengaruh terhadap fungsi produksi kubis adalah pupuk KCl dengan nilai elastisitas sebesar 0,19 dan ZA sebesar 0,65 yang menunjukkan pengaruh nyata. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, ternyata penggunaan pupuk ZA dan KCl belum efisien sehingga perlu ditingkatkan penggunannya. Menurut Karmina dan Aisyah 2008 yang melakukan penelitian mengenai optimalisasi lahan usahatani tomat dan mentimun dengan kendala tenaga kerja pendekatan program linier. Penggunaan tenaga kerja terbesar pria untuk komoditas tomat terjadi pada bulan Februari karena sebagian besar responden melakukan kegiatan pengolahan lahan dan perempuan terjadi pada bulan Maret, sedangkan untuk mentimun penggunaan tenaga kerja pria dan perempuan terbesar terjadi pada bulan April. Luas lahan optimal untuk komoditas tomat dan mentimun adalah satu hektar. Rata-rata lahan yang dimiliki responden untuk komoditas tomat sebesar 0,43 hektar dan untuk komoditas mentimun sebesar 0,38 hektar. Luas lahan yang diusahakan responden masih lebih rendah dibandingkan dengan luas lahan optimal yang dapat di capai oleh responden dengan tenaga kerja yang tersedia. Luas lahan optimal tersebut dapat di capai responden jika melakukan peningkatan luas lahan ekstensifikasi pertanian. 18 Produksi Kentang di Indonesia Tanaman kentang Solanum tuberosum L. merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak, termasuk Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies Solanum tuberosum L. Beukema, 1977. Kentang memiliki umbi batang yang dapat dimakan dan disebut "kentang" pula. Umbi kentang sekarang telah menjadi salah satu makanan pokok penting di Eropa walaupun pada awalnya didatangkan dari Amerika Selatan Peru, Chili, Bolivia, dan Argentina serta beberapa daerah Amerika Tengah. Penjelajah Spanyol dan Portugis pertama kali membawa ke Eropa dan mengembangbiakkan tanaman ini pada abad 17. Dengan cepat menu baru ini tersebar di seluruh bagian Eropa. Dalam sejarah migrasi orang Eropa ke Amerika, tanaman ini pernah menjadi pemicu utama perpindahan bangsa Irlandia ke Amerika pada abad ke-19, di kala terjadi wabah penyakit umbi di daratan Irlandia yang diakibatkan oleh jenis jamur yang disebut ergot11. Masuknya tanaman kentang di Indonesia tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada tahun 1794 tanaman kentang ditemukan telah ditanam di sekitar Cisarua Kabupaten Bandung dan pada tahun 1811 tanaman kentang telah tersebar luas di Indonesia, terutama di daerah-daerah pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Minahasa, Bali, dan Flores. Di Jawa daerah-daerah pertanaman kentang berpusatdi Pangalengan, Lembang, dan Pacet Jawa Barat, Wonosobo dan Tawangmangu Jawa Tengah, serta Batu dan Tengger Jawa Timur. Kentang termasuk tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropika dan subtropika, dapat tumbuh pada ketinggian 500 sampai 3000 m di atas permukaan laut, dan yang terbaik pada ketinggian 1300 m di atas permukaan laut. Tanaman kentang dapat tumbuh baik pada tanah yang subur, mempunyai drainase yang baik, tanah liat yang gembur, debu atau debu berpasir. Tanaman kentang toleran terhadap pH pada selang yang cukup luas, yaitu 4,5 sampai 8,0, tetapi untuk pertumbuhan yang baik dan ketersediaan unsur hara, pH yang baik adalah 5,0 sampai 6,5. Tanaman kentang yang ditanam pada pH kurang dari 5,0 akan menghasilkan umbi yang bermutu jelek. Di daerah-daerah yang akan ditanam 19 kentang yang menimbulkan masalah penyakit kudis, pH tanah diturunkan menjadi 5,0 sampai 5,212. Produksi Kubis di Indonesia Secara biologi, tumbuhan ini adalah dwimusim biennial dan memerlukan vernalisasi untuk pembungaan. Apabila tidak mendapat suhu dingin, tumbuhan ini akan terus tumbuh tanpa berbunga. Setelah berbunga, tumbuhan mati. Kubis termasuk dalam Kerajaan Plantae, Divisi Magnoliophyta, Kelas Magnoliopsida, Ordo Brassicales, Famili Brassicaceae, Genus Brassica, Spesies B. Oleracea, nama binomial Brassica oleracea L13. Kubis adalah komoditas semusim yang memiliki ciri khas membentuk krop. Pertumbuhan awal ditandai dengan pembentukan daun secara normal. Namun semakin dewasa daun-daunnya mulai melengkung ke atas hingga akhirnya tumbuh sangat rapat. Pada kondisi ini petani biasanya menutup krop dengan daun-daun di bawahnya supaya warna krop makin pucat. Apabila ukuran krop telah mencukupi maka kubis siap dipanen. Kubis, kol, kobis, atau kobis bulat adalah nama yang diberikan untuk tumbuhan sayuran daun yang populer. Tumbuhan dengan nama ilmiah Brassica oleracea L. Kelompok Capitata ini dimanfaatkan daunnya untuk dimakan. Daun ini tersusun sangat rapat membentuk bulatan atau bulatan pipih, yang disebut krop, kop atau kepala capitata berarti "berkepala". Kubis berasal dari Eropa Selatan dan Eropa Barat dan, walaupun tidak ada bukti tertulis atau peninggalan arkeologi yang kuat, dianggap sebagai hasil pemuliaan terhadap kubis liar B. oleracea Var. sylvestris. Nama "kubis" diambil dari bahasa Perancis, chou cabus harafiah berarti "kubis kepala", yang diperkenalkan oleh sebagian orang Eropa yang tinggal di Hindia-Belanda. Nama "kol" diambil dari bahasa Belanda kool. Kubis menyukai tanah yang sarang dan tidak becek. Meskipun relatif tahan terhadap suhu tinggi, produk kubis ditanam di daerah pegunungan 400 m dpl ke atas di daerah tropik. Di dataran rendah, ukuran krop mengecil dan tanaman sangat rentan terhadap ulat pemakan daun Plutella. Karena penampilan kubis 12Ibid. Hlm. 18 13Ibid. Hlm. 18 20 menentukan harga jual, kerap dijumpai petani Indonesia melakukan penyemprotan tanaman dengan insektisida dalam jumlah berlebihan agar kubis tidak berlubang-lubang akibat dimakan ulat14. Produksi Tomat di Indonesia Seluruh anggota dari genus Lycopersicon merupakan tanaman setahun atau tanaman tahunan yang berumur pendek, tanaman berupa semak, diploid dengan kromosom somatis yang berjumlah 24. Sistematika tanaman tomat menurut para ahli botani adalah Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Lycopersicon, Species Lycopersicon esculentum Mill15. Menurut sejarahnya tanaman tomat berasal dari Amerika, yaitu daerah Andean yang merupakan bagian dari negara-negara Bolivia, Chili, Colombia, Equador, dan Peru. Sejalan dengan penemuan benua Amerika, tanaman tomat juga kemudian dikenal di Eropa. Di Italia, tanaman ini dikenal sebagai tanaman yang buahnya berwarna merah, sedangkan di Eropa dikenal sebagai tanaman yang buahnya berjumlah banyak. Tomat dapat dikategorikan sebagai tanaman sayuran utama yang semakin populer keberadaannya sejak abad terakhir. Bagian yang dikonsumsi dari tanaman tersebut adalah bagian buahnya. Selain memiliki rasa yang enak, buah tomat juga merupakan sumber vitamin A dan C yang sangat baik. Disamping itu, kandungan lycopenenya sangat berguna sebagai antioksidan yang dapat mencegah perkembangan penyakit kanker. Akhir-akhir ini konsumsi tomat di negara-negara maju semakin meningkat dan sering diasosiasikan sebagai luxurious crop. Contohnya, di Israel buah tomat merupakan komoditas yang sangat penting bagi konsumen, sehingga seringkali digunakan sebagai acuan dalam menghitung indeks harga konsumen. Di negara-negara sedang berkembang tomat sudah mulai menjadi sayuran yang penting, namun orientasi petani dalam mengusahakannya masih lebih mengacu pada peningkatan produksi dibandingkan dengan peningkatan kualitas. Tomat biasanya 14Ibid. Hlm. 18 15Ibid. Hlm. 18aliransungai (DAS) dan penyangga daerah di bawahnya. Berbagai tanaman hortikultura, tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan ternak dihasilkan di lahan pegunungan. Sebagian besar tanaman sayur-sayuran dan bunga-bungaan dihasilkan di tanah Andisols dan Alfisols dengan elevasi berkisar antara 350-1500 m di atas permukaan laut (dpl). TanamanWargapendatang diharap tetap berada di Papua dan kembali membangun perekonomian. Warga Asli Wamena: Hanya Sayur Ini yang Bisa Kami Bantu | Republika Online REPUBLIKA.ID uIycUbM.e5krs89cyf.pages.dev/670 e5krs89cyf.pages.dev/193 e5krs89cyf.pages.dev/15 e5krs89cyf.pages.dev/203 e5krs89cyf.pages.dev/80 e5krs89cyf.pages.dev/128 e5krs89cyf.pages.dev/599 e5krs89cyf.pages.dev/322 e5krs89cyf.pages.dev/440 e5krs89cyf.pages.dev/697 e5krs89cyf.pages.dev/334 e5krs89cyf.pages.dev/297 e5krs89cyf.pages.dev/742 e5krs89cyf.pages.dev/654 e5krs89cyf.pages.dev/597 pasar sayuran di daerah pegunungan termasuk pasar
![]()