Merekaberada di peringkat pertama dalam hal selalu hadirnya bayangan kematian dan nihilnya angan kehidupan. Mereka adalah golongan yang tidak memiliki angan-angan kehidupan duniawi sama sekali. Kedua, orang-orang shaleh. Mereka memiliki angan-angan kehidupan duniawi yang minim, sehingga tidak sampai menyebabkan lalai dari urusan akhirat.

Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas. karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamannya. Oleh karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja, melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam. Salah satunya adalah Imam Al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia Islam. Dalam kajian ini akan dijelaskan tentang hakikat tujuan pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali. Penelitian ini merupakan penelitian literatur dengan mengkaji tentang hakikat tujuan pendidikan Islam Perspektif Imam Al-Ghazali. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa; taqarrub mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan pendidikan Islam yang terpenting. Menguasai ilmu bagi Imam Al-Ghazali adalah sebagai media untuk taqarrub kepada Allah dimana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 HAKIKAT TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI Mokhamad Ali Musyaffa’musyaffa’ . Abstrak Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas. karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamannya. Oleh karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja, melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam. Salah satunya adalah Imam Al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia Islam. Dalam kajian ini akan dijelaskan tentang hakikat tujuan pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali. Penelitian ini merupakan penelitian literatur dengan mengkaji tentang hakikat tujuan pendidikan Islam Perspektif Imam Al-Ghazali. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa; taqarrub mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan pendidikan Islam yang terpenting. Menguasai ilmu bagi Imam Al-Ghazali adalah sebagai media untuk taqarrub kepada Allah dimana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu. Kata kunci Hakikat, Tujuan Pendidikan Islam, Imam Al-Ghazali. Dosen FAI UNISDA Lamongan 2 PENDAHULUAN Pada dasarnya, tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menjadi kholifah Allah dalam melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah, maka untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut perlu adanya proses pendidikan. Pendidikan adalah sebagai alat untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia kepada titik optimal yaitu mencapai kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Selain itu pendidikan sebagai penggalian dan pengembangan fitrah manusia. Sehingga peserta didik memperoleh kemahiran dan keahlian yang sesuai dengan bakat dan tujuan pendidikan yang diharapkan. Pekerjaan mendidik mengandung makna sebagai proses kegiatan menuju kearah tujuannya. Karena pekerjaan tanpa tujuan yang jelas akan menimbulkan suatu ketidakmenentuan dalam prosesnya. Lebih-lebih pekerjaan mendidik yang bersasaran pada hidup psikologis peserta didik yang masih berada pada taraf perkembangan, maka tujuan merupakan faktor yang paling penting dalam proses pendidikan itu. Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas. karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamannya. Oleh karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja, melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam. Pengkajian filosofis terhadap pendidikan mutlak diperlukan karena kajian semacam ini akan melihat pendidikan dalam suatu realitas yang komprehensif. Cara kerja dan hasil-hasil filsafat dapat dipergunakan untuk membantu memecahkan masalah dalam kehidupan dimana pendidikan merupakan salah satu kebutuhan penting dari kehidupan manusia. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II Bandung CV. Pustaka Setia, 1997, 56-57. 3 Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah yang lebih luas, kompleks dan lebih mendalam yang tidak terbatas oleh pengalaman inderawi maupun fakta-fakta faktual yang mungkin tidak dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Imam Al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia Islam. Beliau terkenal sebagai ahli pikir yang berbeda pendapat dengan kebanyakan ahli pikir muslim yang lain pada masanya. Sehingga beliau juga termasuk tokoh besar filosof muslim yang ikut berkontribusi pada kemajuan yang dicapai di zamannya. Dalam kajian ini akan dijelaskan tentang hakikat tujuan pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah kajian literatur dengan mengumpulkan berbagai macam literatur, seperti jurnal, buku, dokumen dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang akan dibahas. Analisis data dalam penelitian ini adalah; Pertama, mengumpulkan literatur yang berkaitan dengan penelitian. Kedua, menelaah literatur yang bersangkutan kemudian menganilisisnya untuk menjawab fokus penelitian. PEMBAHASAN A. Biografi Imam Al-Ghazali Imam Al-Ghazali adalah ulama besar dalam bidang agama, beliau termasuk salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran agama secara keseluruhan. Adapun karya terpentingnya adalah “Ihya’ Ulumiddin” yang sangat fenomenal. Buku lainnya yaitu “Al- Munqidz Min Ad-Dhalal”, dalam buku ini beliau merekam Uyah Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan Bandung Alfabeta, 2003, 8. 4 perjalanan hidupnya sendiri mengenai pengembaraan ruhaninya. Beliau memiliki pemikiran liberal yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan dan penyingkapan berbagai hakikat. Selain itu beliau tergolong ulama yang taat berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah, taat menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Beliau banyak mempelajari pengetahuan tentang ilmu kalam, filsafat, fiqih dan tasawuf. Dan juga beliau adalah seorang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap pendidikan sehingga tidak mengherankan jika beliau memiliki konsep Latar Belakang Keluarga Nama lengkap beliau adalah Muhammad Bin Muhammad, kemudian mendapat gelar Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H atau 1050 M, di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan Persia. Beliau keturunan Persia dan mempunyai darah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahiraz. Nama beliau kadang diucapkan Ghazzali dua z artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah beliau adalah tukang pintal benang wol, sedangkan yang biasa adalah Ghazali satu z diambil dari kota Ghazalah nama kampung kelahiran beliau adalah seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain wol dan ia sering kali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berkhidmah kepada mereka. Ia ayah Al-Ghazali sering berdo’a Husayn Ahmad Ainin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1997, 177-179. Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam Jakarta PT. Remaja Rosdakarta, 2000, 85. Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali Jakarta Bumi Aksara, 1991, 7. Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998, 9. 5 kepada Allah SWT agar diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan jawaban Allah SWT atas do’anya ia meninggal dunia pada saat putra idamannya masih Al-Ghazali bernama Muhammad dan ia sangat menaruh perhatian pada pendidikan anak-anaknya. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara, ayahnya tidak ingin kedua anaknya Ahmad dan Al-Ghazali miskin dari ilmu seperti keadaannya. Oleh karena itu menjelang akhir hayatnya, ia menitipkan kedua anaknya kepada sahabat dekatnya untuk dididik sampai habis harta Latar Belakang Pendidikan Setelah ayah beliau meninggal, Al-Ghazali dan saudaranya dididik oleh sahabat karib ayahnya sampai harta warisan dari ayah Al-Ghazali habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya karena tidak ada biaya lagi. Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai anak pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan dilamun sengsara. Dalam menuntut ilmu beliau selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dimasa kanak-kanak beliau belajar pertama di wilayah kelahirannya di Thus, beliau belajar tentang dasar-dasar pengetahuan dan fiqih kepada Syekh Ahmad Bin Muhammad Ar-Radzikani. Kemudian beliau belajar kepada Abi Nashr Al-Ismaili di Jurjani, tentang tasawuf. Dan akhirnya beliau kembali ke Thusia lagi. Diceritakan bahwa dalam perjalanan pulangnya, Zainuddin, Seluk Beluk......, 7. Abidin Ibn Rusn, Pemikiran……..., 10. Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul Tarbawi Indal Ghazaly, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazaly Bandung Al-Ma’arif, 1986, 13. Imam Al-Ghazali, Munqidh Minad Ad-Dhalal, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan Surabaya Pustaka Progresif, 2001, 109. 6 beliau dan teman-teman seperjalanannya dihadang oleh sekawanan pembegal kemudian merampas harta dan bekal yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas Al-Ghazali yang berisi kitab-kitab filsafat dan ilmu pengetahuan yang beliau senangi. Kemudian Al-Ghazali berharap kepada mereka agar sudi mengembalikannya, akhirnya kawanan perampok merasa iba dan kasihan lalu mereka mengembalikan kitab-kitab kepadanya. Setelah peristiwa itu beliau menjadi semakin rajin menghafal dan mempelajari kitab-kitabnya, memahami ilmunya dan berusaha mengamalkannya dan juga menyimpan kitab-kitabnya di suatu tempat yang khusus. Sesudah itu Imam Al-Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini Imam Al-Haramain Wafat tahun 478 H atau 1085 M, dari beliau ini Al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul dan ilmu pengetahuan agama lainnya. Imam Al-Ghazali memang orang yang sangat cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam Al-Juwaini sempat memberi beliau predikat sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “Laut dalam nan menenggelamkan Bahrun Mughriq”. Setelah gurunya meninggal beliau pergi ke Istana Nidzam Al-Mulk, Menteri Nidzam Al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan, kekayaan ilmu pengetahuan, kefasihan lidah dan kejituan argumentasinya. Akhirnya menteri tersebut mengangkat beliau sebagai guru besar di sana Perguruan Al-Nidzomiyah. Setelah empat tahun, beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Bagdad dan meninggalkan Bagdad untuk menjalani kehidupan Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul………………, 14 7 sebagai seorang sufi pada tahun 488 H sambil menunaikan ibadah haji. Ketika itu beliau mengalami keraguan yang timbul dalam dirinya setelah beliau mempelajari ilmu kalam yang diperolehnya dari Al-Juwaini. Beliau ingin mencari kebenaran sejati dan mulai tidak percaya kepada pengetahuan yang diperolehnya melalui panca indra, sebab panca indra menurut beliau seringkali tidak benar. Tasawuflah kemudian yang menghilangkan rasa ragu-ragu dalam dirinya. Setelah itu beliau pergi ke Syam dan tinggal di sana sebagai seorang zahid hidup serba ibadah dan mengembara ke berbagai padang pasir melatih diri mendalami masalah kerohanian dan penghayatan agama. Di Syam beliau menulis kitab Ihya’ Ulumuddin, setelah itu beliau pindah ke Baitul Maqdis. Kemudian beliau kembali ke Bagdad kemudian menuju ke daerah asalnya yaitu Khurosan. Di Khurosan beliau mengajar di Madrasah Al-Nidzamiyah di Naisabur dan juga mengajar di Madrasah Al-Fuqoha. Selain itu beliau juga menjadi Imam ahli agama dan membimbing jama’ah kajian tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama. Sekembalinya Imam Al-Ghazali ke Bagdad sekitar sepuluh tahun beliau pindah ke Naisabur dan di sana beliau sibuk mengajar dalam waktu yang tidak lama. Setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thusia, kota kelahirannya pada tahun 505 H atau 1111 M. B. Hakikat Tujuan Pendidikan Islam Perspektif Imam Al-Ghazali Imam Al-Ghazali, Pembuka dan Penerang, Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin Bandung PT. Al-Ma’arif, 2001, 20. Imam Al-Ghazali, Munqidh....., 177. 8 Imam Al-Ghazali adalah seorang filosof yang agung dan juga seorang ahli pendidikan yang menonjol. Dalam dua bidang kemampuan tersebut beliau sungguh genius. Dengan menerapkan filsafat kepada pendidikan dan menyuntikkan pendidikan ke dalam filsafat, beliau membuat keduanya sebagai dua disiplin yang tidak dapat dielakkan oleh guru dan muridnya. Walaupun filsafat dan tasawufnya mempengaruhi pandangannya terhadap nilai-nilai kehidupan yang mengarahkan pada kebahagiaan akhirat. Namun Imam Ghazali tidak melalaikan ilmu pengetahuan yang seyogyanya dipelajari lantaran ilmu itu memiliki keistimewaan dan kebagusan. Beliau mengatakan “Ilmu itu adalah keutamaan pada dzatnya secara mutlak tanpa dibandingkan karena ilmu itu adalah sifat kesempurnaan Allah Yang Maha Suci. Dan dengan ilmu malaikat dan para nabi menjadi mulia”. Atas dasar itulah beliau menganggap bahwa mendapatkan ilmu itu menjadi target pendidikan. Karena nilai yang terkandung dalam ilmu itu sendiri dan manusia dapat memperoleh kelezatan dan kepuasan yang ada padanya. Selanjutnya beliau berkata “Apabila kamu memandang kepada ilmu maka kamu melihat lezat pada dzatnya. Jadi ilmu itu di cari karena dzatnya, dan kamu mempelajari ilmu sebagai perantara ke perkampungan akhirat, menuju kebahagiaan akhirat dan jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan tidaklah sampai kepadanya kecuali dengan ilmu. Sebesar-besar tingkat sesuatu adalah sesuatu yang menjadi perantaraan kepadanya. Dan tidak akan sampai kepadanya kecuali dengan amal. Dan tidak akan sampai kepada amal kecuali dengan ilmu Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali Bandung CV. Pustaka Setia, 2005, 128. Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Jilid I, Alih bahasa Moh. Zuhri Semarang CV. Asy-Syifa’, 1993, 41. Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul………………, 25. 9 tentang cara mengamalkan. Pangkal kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu, oleh karena itu mencari ilmu adalah seutama-utamanya amal”. Demikian Imam Al-Ghazali sangat memperhatikan kehidupan dunia dan akhirat sekaligus, sehingga tercipta kebahagiaan bersama di dunia dan akhirat. Selanjutnya beliau juga mengatakan “Manusia itu tergabung dalam agama dan dunia, agama tidak teratur kecuali dengan teraturnya dunia karena sesungguhnya dunia itu adalah ladang akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah SWT. bagi yang mengambilnya sebagai tempat menetap dan tanah air”. Seiring dengan kepribadiannya, beliau tidak memperhatikan kehidupan dunia semata-mata atau kehidupan akhirat semata-mata, tetapi beliau menganjurkan untuk berusaha dan bekerja bagi keduanya tanpa meremehkan salah satunya. Jadi pendidikan yang diharapkan bagi masyarakat muslim khususnya menurut Imam Al-Ghazali tidak sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau akhirat semata-mata, tetapi harus mencakup keduanya. Akan tetapi kesenangan dan kebahagiaan di dunia adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat, karena kebahagiaan dunia bersifat sementara. Jadi kebahagiaan di dunia merupakan tujuan sementara yang harus dicapai untuk menuju tujuan yang lebih tinggi yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT. dalam rangka mencapai kebahagiaan akhirat. Berangkat dari uraian diatas, Imam Al-Ghazali merumuskan bahwa tujuan pendidikan secara umum adalah untuk menyempurnakan manusia. Yakni manusia yang hidup bahagia di dunia pendidikan yang dirumuskan Al-Ghazali didasari oleh pemikirannya tentang manusia. Menurutnya manusia terdiri atas dua unsur jasad dan ruh jiwa, keduanya mempunyai sifat yang berbeda Imam Al-Ghazali, Ihya’………………., 42. Zainuddin, Seluk Beluk..........., 46. Imam Al-Ghazali, Ihya’………………., 42. 10 tetapi saling mengikat artinya berbeda dalam sifat tetapi sama dalam tindakan. Jasad tidak akan dapat bergerak tanpa ruh atau jiwa. Begitu pula jiwa atau ruh tidak akan mampu bertindak melaksanakan kehendak Sang Maha Penggerak kecuali dengan adanya jasad. Sehingga walau jasad terpisah untuk sementara waktu dengan kematian, kelak akan dibangkitkan dan menyatu kembali untuk menerima balasan atas tindakan yang dilakukan keduanya ketika hidup di dunia. Menurut Abidin Ibn Rusn dalam bukunya “Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan” bahwa pendidikan menurut Imam Ghazali adalah proses memanusiakan sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Menurut Al-Ghazali, pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia di dunia dan di akhirat. Pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah setelah memperoleh ilmu pengetahuan itu sendiri dan ilmu itu tidak dapat diperoleh manusia kecuali setelah melalui pengajaran. Dan dengan ilmu yang diperoleh, maka manusia akan dapat menggali dan mengembangkan potensinya sehingga dapat diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu, manusia harus mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan baik yang termasuk fardhu ain maupun fardhu kifayah. Oleh karena itu, pengiriman para pelajar dan mahasiswa ke negara lain untuk memperoleh spesifikasi ilmu-ilmu kealaman demi kemajuan Negara tersebut, menurut konsep ini tepat sekali. Sebagai implikasi dari Abidin Ibn Rusn, Pemikiran………...., 56. 11 tujuan pendidikan, umat Islam dalam menuntut ilmu untuk menegakkan urusan keduniaan atau melaksanakan tugas-tugas keakhiratan tidak harus dan tidak terbatas kepada negara-negara Islam, akan tetapi boleh dimana saja bahkan di negara anti Islam sekalipun. Dengan menguasai ilmu-ilmu fardhu kifayah selanjutnya manusia dapat menguasai profesi-profesi tertentu kedokteran, pertanian, perusahaan dan manusia dapat melaksanakan tugas-tugas keduniaan dan dapat bekerja dengan sebaik-baiknya. Maka dalam tujuan-tujuan pendidikan ini diharapkan dapat terwujudnya kemampuan manusia yang dapat melaksanakan tugas-tugas keduniaan dengan baik. Ilmu itu untuk diamalkan karena hal itu merupakan langkah awal seseorang dalam belajar guna untuk mensucikan jiwa dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, dan motivasi pertama adalah untuk menghidupkan syari’at dan misi bukan untuk mencari kemegahan duniawi. Mengejar pangkat atau popularitas. Imam Al-Ghazali berkata “Barang siapa mengetahui, mengamalkan dan mengajarkan ilmunya maka dialah orang yang disebut sebagai orang besar di kerajaan langit. Ia seperti matahari yang menerangi kepada lainnya dan ia menerangi pada dirinya. Dan seperti minyak kasturi yang mengharumi lainnya sedangkan ia sendiri harum. Sedangkan orang yang mengetahui dan tidak mengamalkannya adalah seperti buku yang memberi faidah kepada lainnya padahal ia sendiri kosong dari ilmu”. Jadi sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu yang diamalkan. Menurut Imam Al-Ghazali bahwa ilmu itu dikaitkan dengan ma’rifat artinya pengetahuan atau pengenalan manusia terhadap Tuhannya dengan mata batin Imam Al-Ghazali, Ihya’........, Jilid 1, 170. 12 kemudian merefleksikannya dalam seluruh tingkah laku yang bernilai penghambaan kepada-Nya. Selain itu Al-Ghazali melihat ma’rifat sebagai upaya untuk mengenal dan mengetahui dengan sebenar-benarnya dan penuh keyakinan bahwa hanya Allah-lah yang berhak disembah. Karena Dia-lah yang Maha Agung dan Maha Kuasa. Beliau juga memandang bahwa dunia ini hanyalah padang pengembaraan menuju tempat kembali yakni akhirat. Jadi dunia ini bukan merupakan hal pokok, tidak abadi akan rusak, dunia hanya tempat lewat sementara, tidak kekal dan maut senantiasa mengintai setiap manusia. Dan sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup akhirat yang utama dan abadi adalah dunia dengan mencari kebahagiaan akhirat yang merupakan sarana untuk mengantarkan makhluknya kepada Allah SWT. bagi orang yang mengambil dunia sebagai tempat tinggal permanen bukan tempat tinggal yang abadi. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu hanya sebagai alat sarana. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. surat Al-Hadid ayat 20    Artinya “ Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. Tujuan pendidikan yang diinginkan adalah untuk mendapatkan keridhaan-Nya, karena agama merupakan sistem kehidupan yang menitikberatkan pada pengamalan akhirat. Manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan melaksanakan ibadah wajib dan ibadah sunnah, disamping itu juga manusia harus senantiasa mengkaji ilmu-ilmu fardhu ain dan apabila manusia hanya menekuni M. Solihin, Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali Bandung CV. Pustaka Setia, 2001, 34. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya Semarang Al-Waah, 1993, 903. 13 ilmu fardhu kifayah saja, maka orang tersebut tidak semakin dekat kepada Allah bahkan semakin jauh dari-Nya. Dan hal ini dapat dinyatakan bahwa semakin lama seorang duduk di bangku pendidikan semakin bertambah ilmu pengetahuannya, maka semakin mendekat kepada Allah SWT. Manusia dapat mencapai kesempurnaan lantaran usahanya mengamalkan fadhilah keutamaan melalui pengetahuan, dimana sumber kebahagiaan di dunia dan di akhirat adalah ilmu yang diamalkan untuk kebahagiaan di dunia dan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. akibatnya dengan fadhilah ini manusia dapat meraih kebahagiaan di akhirat. Berangkat dari uraian diatas dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan secara umum menurut Imam Al-Ghazali adalah sebagai berikut 1. Mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah. 2. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia. 3. Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya. 4. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manusiawi. Abidin Ibn Rusn, Pemikiran………....,58. Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul………………, 25. Abidin Ibn Rusn, Pemikiran………....,60. 14 KESIMPULAN Dari hasil studi terhadap pemikiran Imam Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa taqarrub mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan pendidikan Islam yang terpenting. Meskipun demikian, beliau tidak mengesampingkan masalah-masalah duniawi, karenanya beliau masih memberi ruang dalam system pendidikannya bagi perkembangan ilmu duniawi. Dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju hidup di akhirat yang lebih utama dan kekal. Menguasai ilmu bagi Imam Al-Ghazali adalah sebagai media untuk taqarrub kepada Allah dimana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu. Tingkat termulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan yang abadi, diantara wujud yang paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan, sedangkan kebahagiaan itu tak mungkin tercapai kecuali dengan ilmu dan amal, dan amal tak mungkin dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal dikuasai. Dengan demikian, maka modal kebahagiaan di dunia dan akhirat tak lain adalah ilmu. 15 DAFTAR PUSTAKA Ainin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1997. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang Al-Waah, 1993. Al-Ghazali, Imam, Ihya’ Ulumiddin, Jilid I, Alih bahasa Moh. Zuhri, Semarang CV. Asy-Syifa’, 1993. Al-Ghazali, Imam, Munqidh Minad Ad-Dhalal, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan Surabaya Pustaka Progresif, 2001. Al-Ghazali, Imam, Pembuka dan Penerang, Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin, Bandung PT. Al-Ma’arif, 2001. Khan, Shafique Ali, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali, Bandung CV. Pustaka Setia, 2005. Nata, Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta PT. Remaja Rosdakarta, 2000. Rusn, Abidin Ibn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998. Sadullah, Uyah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung Alfabeta, 2003. Solihin, M., Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung CV. Pustaka Setia, 2001. Sulaiman, Fathiyah Hasan, Al-Madzhabul Tarbawi Indal Ghazaly, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazaly, Bandung Al-Ma’arif, 1986. Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam II, Bandung CV. Pustaka Setia, 1997. Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta Bumi Aksara, 1991. . Ali ImronAri Saidul MujazinMoral education plays an important role in forming superior human beings. This paper aims to describe the moral values contained in poetry or Geguritan "Nurani Peduli" by Handoyo Wibowo and look at the process of internalizing these moral values in students of the Baitul Huda Islamic elementary school Semarang city through the Javanese language course. In addition, this paper also aims to see the implications of internalizing these moral values for students. This paper uses a qualitative-phenomenological type of research that uses students, teachers, and school principals as research subjects. Based on the results of the study it was concluded that First, the moral values contained in geguritan include harmony, wisdom, humility, awareness, and development of taste. Second, the internalization process is carried out in three stages, namely the information stage by providing material on the moral values contained in Geguritan "Nurani Peduli", the appreciation stage through direction and guidance and exemplary students, and the value application stage by providing motivation and encouragement to students to apply good grades in the form of actions. Third, the implications of internalization can be seen from three aspects, namely cognitive, affective, and psychomotor. Characterized by the integration of learning materials with an attitude of empathy, awareness, tolerance, and a sense of responsibility in social AininAhmadAinin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, ImamDan PenerangAl-Ghazali, Imam, Pembuka dan Penerang, Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin, Bandung PT. Al-Ma'arif, Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-GhazaliM SolihinSolihin, M., Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung CV. Pustaka Setia, 2001.

Kematianadalah salah satu syarat untuk memasuki alam akhirat, karena kehidupan di dunia dan akhirat sangat berbeda. Manusia adalah mahluk yang dapat hidup dengan perantara ruh yang sifatnya hanya sementara, dan jika waktu telah tiba untuk kembali, maka ruh akan kembali pada alam asalnya, yakni alam akhirat.
Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Tidak dipungkiri lagi bahwa kita hanyalah menunggu waktu untuk kembali kepada Sang Pencipta, tanpa tahu kapan hal itu akan terjadi, di mana kita akan mati dan bagaimana kita mati. Semua merupakan rahasia Illahi yang tidak akan pernah diketahui oleh manusia. Kematian merupakan suatu hal yang mutlak akan dihadapi makhluk hidup di dunia. Bila telah digariskan waktunya, siapapun, kapanpun, dan dimanapun kematian akan tetap menjemput. Sebagaimana firman Allah SWT berikut ini “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” QS. Luqman 34. BACA JUGA Tidak Ada Hal Gaib yang Lebih Engkau Sukai daripada Kematian Hanya saja dengan bekal keimanan dan ketakwaannya, sesorang bisa saja lebih peka terhadap tanda-tanda kematian yang akan mendatanginya. Sebagaimana Imam Al-Ghazali yang diriwayatkan telah mengetahui tanda-tanda akan datangnya kematian sehingga beliaupun mempersiapkan diri dalam menghadapi sakaratul maut. Termasuk dengan mandi, berwudlu dan mengenakan kain kafan hingga sebatas tubuhnya karena untuk bagian kepala beliau meminta bantuan kakaknya, yaitu Imam Ahmad. Hingga akhirnya beliau wafat ketika sang kakak mengkafani bagian wajahnya. Adapun tanda-tanda akan datangnya kematian menurut Imam Al-Ghazali adalah seperti berikut ini 1 Tanda-tanda kematian 100 hari Pertama Tanda kematian di 100 hari sebelum ajal menjadi peringatan bagi hamba yang dikehendaki-Nya. Karena pada dasarnya semua umat muslim akan merasakan tanda ini, hanya saja kemungkinan ada yang menyadari sebagai tanda kematian namun ada pula yang mungkin mengabaikannya. Adapun tandanya lazim terjadi setelah waktu Asar, dimana seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki seolah bergetar hingga menggigil. Bagi mereka yang menyadari tanda ini tentu akan memanfaatkan waktu hidupnya dengan sebaik mungkin untuk mencari bekal yang akan dibawa mati nanti. 2 Tanda Kedua 40 hari sebelum kematian Tanda kematian di 40 hari sebelum ajal lazim terjadi setelah waktu Asar, dimana pada bagian pusat akan terasa berdenyut. Selain itu diriwayatkan pula bahwa sebelum ajal menjemput telinga terasa berdengung secara terus menerus. 3 Tanda Ketiga Tujuh hari sebelum kematian Pada orang yang tengah sakit keras, pada hari ke-tujuh menjelang kematian selera makan justru meningkat sehingga ingin menikmati makanan tertentu sesuai keinginannya. BACA JUGA Stop Menghujat! Sungguh Lisan Anda Itu Bisa Menghidupkan dan Mematikan 4 Tanda Keempat 3 hari sebelum kematian Lazim dirasakan adanya denyutan pada tengah dahi, nafsu makan menurun atau bahkan tidak mau makan. Mata akan terlihat memudar sehingga tidak lagi bersinar, hidung perlahan turun, telinga terlihat layu dan telapak kaki sukar ditegakkan. 5 Tanda Kelima 1 hari sebelum kematian Sesudah waktu Asar, akan terasa sebuah denyutan pada bagian ubun-ubun sebagai pertanda bahwa tidak akan menemui waktu Asar di keesokan harinya. 6 Tanda akhir dimana kematian telah datang Akan terasa dingin di bagian pusat hingga turun ke pinggang selanjutnya menjalar naik ke bagian halkum, sehingga harus senantiasa berdzikir dan mengucapkan kalimat syahadat secara terus menerus sampai malaikat maut menghampiri dan menjemput ruh untuk kembali kepada Allah yang memilikinya. Lalu bagaimana dengan kematian mendadak yang sering terjadi di sekitar kita? Ada kalanya kita masih menjumpai sanak saudara atau tetangga di pagi hari, namun ternyata di sore hari mereka sudah berpulang, entah karena mengalami musibah atau bahkan dalam keadaan yang tidak sakit sedikitpun. Tentu semua adalah ketentuan dari Allah Yang memberikan kehidupan dan kemudian mewafatkan. Manusia sedikit pun tidak memiliki daya upaya untuk menghindar atau menunda terjadinya kematian. Allah SWT berfirman “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat pula memajukannya.” QS. Al-A’raf 34. BACA JUGA Apakah Jin Mengalami Kematian? Kematian mendadak tentu menjadi fenomena yang patut diwaspadai agar tidak menimbulkan penyesalan di alam kubur nanti. Dalam beberapa riwayat, banyaknya kematian mendadak merupakan tanda akhir zaman yang ternyata sudah sering kita temui saat ini. Sudah sepatutnya bagi kita untuk senantiasa mempersiapkan diri menghadapi kematian kapanpun ajal menjemput. Berserah diri kepada Allah dan memanfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya melalui peningkatan keimanan maupun ketakwaan serta akhlak yang lebih baik lagi akan menjadikan kita lebih tenang dan damai dalam menghadapi kematian. Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, Rasulullah SAW bersabda “Kematian mendadak adalah keringanan terhadap seorang mukmin, dan siksaan yang membawa penyesalan terhadap orang kafir.” HR. Ath-Tabrani. Wallahualam. [] SUMBER TONGKRONGANISLAMI
Dikutipdalam sebuah buku berjudul Al-Munkidz Min Adh-Dhalal (penyelamat dari kesesatan) ditulis oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali, meninggal tahun 505 hijrah bertepatan dengan 1111 masehi. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ. Ketika itu Al-Ghazali mencapai puncak popularitasnya, ditandai dengan pengikutnya saat ceramah di Baghdad hingga mencapai 70.000 jamaah yang hadir.

JAKARTA - Imam Ghazali mengatakan mati adalah sesuatu yang menakutkan dan mengerikan. Dahsyatnya kejadian dan besarnya bencana adalah kematian."Kebanyakan manusia lalai dan lengah terhadap mati karena mereka tidak mentafakurinya," kata Imam Ghazali dalam kitabnya yang diterjemaahkan menjadi judul "Mati dan Kejadian Setelahnya"Andai kata mengingat mati pun, kata Imam Ghazali mereka tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Oleh karena itu, ingat mati tidak memberikan pengaruh dan akibat yang berarti bagi mereka. "Cara mengingat mati yang benar adalah membebaskan hati dari semua pikiran lainnya dan hanya ingat mati saja yang mendominasi pikiran dan hati," katanya. Untuk itu kata Imam Ghazali hendaklah kita menjadi seperti orang yang tengah berada dalam perjalanan laut atau padang sahara yang keras dan penuh bahaya. Ketika pikiran tentang mati menyelimuti hati, hasrat kesenangan dan kesukaan pada dunia menjadi turun dan hati pun menjadi luluh."Cara terbaik dan bermanfaat dalam bertafakur tentang mati adalah mengingat kawan-kawan dan tetangga-tetangga yang telah meninggal dunia, bahwa mereka berada di dalam kubur di bawah tanah, dan membayangkan keadaan serta wajah mereka di dalam kubur," katanya."Bagaimana wajah cantik dan tampan mereka telah menjadi santapan cacing dan serangga, istri dan anak mereka menjadi yatim dan terpuruk dalam kemiskinan, hari-hari mereka berlalu dengan penderitaan, kekayaan mereka telah lenyap. Kenanglah masing-masing orang demi orang. Tafakurilah bagaimana kematian menyerang mereka secara tiba-tiba tanpa peringatan sedikitpun dan bagaimana ketidaksiapan mereka menghadapi kematian dan akhirat," Abu Darda ra berkata, "Ketika diceritakan tentang orang yang mati, bayangkan engkau adalah salah seorang dari mereka." Sahabat lainnya Ibnu Mas'ud ra berkata, "Orang yang beruntung adalah dia yang mengambil pelajaran dari keadaan maksudnya kematian orang lain"Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata, "Apakah tidak kau lihat bahwa dirimu mempersiapkan perbekalan untuk orang yang pergi kepada Allah setiap pagi atau petang dan kau kubur ia di bawah tanah, sementara ia meninggalkan sahabat-sahabat dan karib-kerabatnya serta meninggalkan harta dan miliknya selama-lamanya?"Pada suatu hari seorang waliyullah terkemuka Ibn Muthi, memandang rumahnya dan merasa takjub dan puas karena kebagusannya. Namun setelah itu ia menangis dan berkata."Demi Allah seandainya tidak ada kematian, maka akan puaslah hatiku memandangmu. Seandainya tempat yang akan kutinggali setelah mati tidak sempit, maka mataku akan sejuk melihat dunia ini." Setelah itu ia mulai menangis seperti anak kecil. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini

MenurutImam Al-Ghazali Rahimahullah, ada 4 elemen supaya kita mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Yakni: mengenal diri, mengenal Allah, mengenal dunia, dan mengenal akhirat. Pertama; Mengenal diri ( Ma'rifatun Nafs ). Al-Ghazali mengatakan; mengenal adalah kunci untuk mengenal Tuhannya yaknia Allah Swt. Sebagaimana dikatakan Al-Quran: This article talk about maqāṣid al-Qur’ān on exegesis worked by Syaikh Ihsan Jampes, aspecially toward some verses at book of Sirāj aṭ-Ṭālibῑn vol. II. For that, there are three question should be answer; about the type of Quranic-exegesis, the operational process of Maqasid Alquran, and finally the main theme of Maqasid Alquran on the book of Sirāj aṭ-Ṭālibῑn vol. II. So, by using study of library-research and descriptive-analysis writing, otomatically the researcher make those verses as object of material and the book as primary-object soon the other books as secondary, such as book of Jawāhir al-Qur’ān worked by al-Ghazali. The results of this research are; firstly, the book of Sirāj al-Ṭālibῑn use type of tafsir isyari just to explain the majority exegesis of those verses within. Secondly, by modelling of maqāṣid al-Qur’ān arranged by al-Ghazali, the researcher find at least 80 main-verses on the book of Sirāj al-Ṭālibῑn, which is talking about knowing of Allah and the prophectic-wisdom are more dominate themes than about life of mankind. Thirdly, the implication of those, there are two big groups of maqāṣid following maqāṣid al-Qur’ān of al-Ghazali; monotheism-escatology, and wellnes during other themes such as morality, wisdom, islamology, and properiousity of mankind. Four of these big themes bring to some understanding that the main maqāṣid al-Qur’ān on the book of Sirāj aṭ-Ṭālibῑn is the wellness kemaslahatan on the world and hereafter for all mankind. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 57 MAQĀṢID ALQUR’ĀN AL-GHAZALI DALAM KITAB SIRĀJ AŢ-ṬĀLIBĪN KARYA SYEKH IHSAN AL-JAMPESI Cholid Ma`arif UNU Blitar cholidmaarif Abstract This article talk about maqāṣid al-Qur’ān on exegesis worked by Syaikh Ihsan Jampes, aspecially toward some verses at book of Sirāj aṭ-Ṭālibῑn vol. II. For that, there are three question should be answer; about the type of Quranic-exegesis, the operational process of Maqasid Alquran, and finally the main theme of Maqasid Alquran on the book of Sirāj aṭ-Ṭālibῑn vol. II. So, by using study of library-research and descriptive-analysis writing, otomatically the researcher make those verses as object of material and the book as primary-object soon the other books as secondary, such as book of Jawāhir al-Qur’ān worked by al-Ghazali. The results of this research are; firstly, the book of Sirāj al-Ṭālibῑn use type of tafsir isyari just to explain the majority exegesis of those verses within. Secondly, by modelling of maqāṣid al-Qur’ān arranged by al-Ghazali, the researcher find at least 80 main-verses on the book of Sirāj al-Ṭālibῑn, which is talking about knowing of Allah and the prophectic-wisdom are more dominate themes than about life of mankind. Thirdly, the implication of those, there are two big groups of maqāṣid following maqāṣid al-Qur’ān of al-Ghazali; monotheism-escatology, and wellnes during other themes such as morality, wisdom, islamology, and properiousity of mankind. Four of these big themes bring to some understanding that the main maqāṣid al-Qur’ān on the book of Sirāj aṭ-Ṭālibῑn is the wellness kemaslahatan on the world and hereafter for all mankind. Keywords Maqāṣid al-Qur’ān, exegesis, verses, maslahah Abstrak Penelitian ini menyoroti aspek maqāṣid al-Qur’ān dalam penafsiran Syekh Ihsan al-Jampesi terhadap ayat-ayat dalam kitab Sirāj aṭ-Ṭālibῑn Juz II. Untuk itu setidaknya akan menempuh tiga rumusan masalah yang diajukan, yaitu tentang corak penafsiran, proses operasionalisasi maqasid Alquran, dan terakhir kandungan pokok maqasid Alquran dalam kitab tersebut. Sehingga studi ini dilakukan dengan menggunakan analisis kepustakaan bercirikan deskriptif-analitis terhadap teks berupa ayat-ayat al-Qur’an dalam kitab tersebut sebagai objek material. Sehingga kitab itu sendiri digunakan sebagai sumber primer, dan didukung dengan sumber sekunder utama yaitu kitab Jawāhir al-Qur’ān karya al-Ghazali. Hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut Pertama; format penafsiran ayat al-Qur’an dengan corak tafsir isyari sufi akhlaqiy nampak mendominasi pensyarahan Syekh Ihsan dalam kitab Sirāj al-Ṭālibῑn, Kedua; temuan pertama tersebut ditunjukkan dengan model operasional maqāṣid al-Qur’ān al-Ghazali untuk menganalisa delapan 80 ayat utama dalam kitab Sirāj al-Ṭālibῑn, dimana ayat tentang mengenal Allah dan hikmah kenabian lebih dominan daripada ayat mengenai kehidupan di dunia. Ketiga; Implikasi terdapat dua kelompok besar maqāṣid yaitu ketauhidan yang meliputi tema ketuhanan dan eskatologi, serta kemaslahatan yang meliputi lebih banyak tema yaitu akhlak, hikmah, islamologi, dan kemakmuran. Domain empat tema besar ini mengantarkan pada pemahaman bahwa maqāṣid al-Qur’ān dalam kitab Sirāj aṭ-Ṭālibῑn tidak lain adalah kemaslahatan di dunia dan akhirat. Kata kunci Maqāṣid al-Qur’ān, tafsir, ayat, maslahah. PENDAHULUAN Konsep maqasid pertama kali dicetuskan oleh al-Juwaini w. 478 dalam kitab al-Burhân. Kemudian al-Ghazali w. 505 H, al-Āmidi w. 631 H, Izuddin Abdussalam w. 660 H, al-Razi w. 606 H, dan al-Shatibi w. 790 H, menyusul kemudian Muhammad Thaha Ibnu Asyur. Meskipun demikian, istilah tersebut belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri, karena mereka hanya Cholid Ma’arif 58 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 sekilas menyebutkan istilah tersebut dan belum berorientasi dalam proses penafsiran al-Qur’ tawaran di antara mereka adalah jika al-Juwaini dipandang sebagai peletak maqasid secara umum, lalu al-Ghazali menguatkannya dengan basis teologis, al-Syatibi berbasis linguistik-teologis, dan al-Razi sebagai perintis maqasid dalam penafsiran, sedangkan Ibn Asyur selangkah lebih maju dengan mengkonstruk bangun tafsir maqasidi dengan konsep maṣlaḥat al-âmmah dan al-khâşşah yang lebih peka pada isu kontemporer. Dalam rumpun konsep yang sama, sejarah khazanah Islam di Indonesia sendiri juga telah bermunculan para tokoh maqasid dan fuqaha di bidang syariah bahkan sejak abad ke-17. Hal ini salah satunya nampak pada rumusan formulasi hukum Islam dengan realitas yang tidak taklid seutuhnya pada Jazirah Arab sebagai pusat kelahiran Islam, namun bercirikan Nusantara. Asumsi yang hendak penulis tawarkan dari fakta tersebut adalah peluang yang sama pasti juga terjadi pada bangun keilmuan lain, termasuk bidang maqasid Al-Qur’an yang masih dalam cakupan paradigma tafsir Nusantara. Satu diantaranya karya klasik yang mengandung praktik maqasid Al-Qur’an adalah kitab Sirāj al-Ṭālibῑn karya Syeikh Ihsan al Jampesi Kediri. Kitab ini merupakan syarah dari kitab Minhāj al-Ābidῑn karya Imam Ahmad Abu Hamid al Ghazali w. 1111. Walaupun populer sebagai sebuah karya monumental Nusantara di bidang tasawuf, namun di dalamnya Syeikh Ihsan juga melakukan pengutipan baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti modifikasi atas inisiatifnya terhadap beberapa ayat Al-Qur’an.. Pendekatan Maqāşid Alqur’ān dipilih karena implikasi hikmah dan rahasia yang akan tergali dari konsep suatu ayat diyakini mampu mengungkap nilai-nilai universal secara global. Hal yang menarik untuk dipedomani adalah ungkapan al-Shatibi yang mengatakan bahwa maqasid adalah ruhnya segala tindakan. Ungkapan ini tidak terbatas pada maqasid pelaku maupun tindakannya itu sendiri, melainkan meliputi semua aspek; sebagaimana ruhnya Al-Qur’an adalah maqasid, ruhnya Sunnah adalah maqasid, ruhnya hukum-hukum syariat adalah maqasid-nya, bahkan ruh beragama terletak pada maqasidnya sejauh bagaimana seseorang mampu mewujudkannya. Pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah; apa corak tafsir Alquran yang digunakan oleh Syaikh Ihsan dalam syarahnya kitab Sirāj aṭ-Ṭālibῑn. Lalu, bagaimanakah jejak maqasid Alquran al-Ghazali dalam kitab karyanya yang kemudian disyarahi oleh Syaikh Ihsan Jampes. Terakhir, apa kandungan pokok maqasid Alquran dalam penafsiran ayat-ayat Alquran di dalamnya. Praktis, kitab Sirāj aṭ-Ṭālibῑn menjadi sumber primer, sedangkan sumber sekundernya adalah kitab Jawahir Al-Qur’an karya al Ghazali, yang sekaligus menjadi rujukan teoritisasi penggalian makna ayat-ayat dalam karya Syekh Ihsan. Kajian terhadap masterpiece karya Syaikh Ihsan ini tentu bukan yang pertama kali. Moh. Bakir, “Konsep Maqasid Alquran Perspektif Badi’ al-Zaman Sa’id Nursi”, Jurnal el-Furqonia, 1 2015, 4. Jabbar Sabil, “Dinamika Teori Maqasid”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, 2 2011, 41. Dapat disebutkan beberapa diantara mereka adalah Nuruddin ar-Raniry w. 1658 M dengan karya monumentalnya Ṣirāṭ al-Mustaqῑm, Syeikh Abdurrauf as-Singkili w. 1615 M dengan kitabnya Mir’āt al-Ṭullāb, Syekh Arsyad al-Banjari, Syeikh Nawawi al-Bantani, hingga Munawir Sadzali, KH Ali Yafie, dan lainnya. Lihat, Mursyid Jawwas, “Jejak Maqashid al-Syariah Di Nusantara Melacak Fuqahā Berbasis Maqashid al-Syari’ah dan Hasil Ijtihadnya”, Conference Proceedings – ARICIS I, 155. Moh. Arifin, Moh. Asif, “Penafsiran al-Qur`an KH. Ihsan Jampes; Studi Intertekstualitas Dalam Kitab Sirāj al-Ṭālibīn, Jurnal al-Itqon, 2 2015, 63. Ahmad al Raysuni, Maqasid al Maqasid al Ghayat al Ilmiyyah wa al Amaliyyah li Maqasid al Shari’ah Beirut al Shabakah al Arabiyyah li al Abhath wa al Nashr, 2013, ii. Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 59 Beberapa penelitian terdahulu mengenai yang menjadikan kitab ini sebagai objek diantaranya adalah a “Al-Harâkah al-Fikriyyah wa al-Turath inda al-Shaikh Ihsan Jampes Kediri Mulahazah Tamhidiyyah” yang ditulis oleh Ahmad Barizi dalam Jurnal Studia Islamica vol. 11, No. 3, tahun 2004 ini memuat pemikiran tasawuf Kiai Ihsan Jampes; b “Penafsiran Al-Qur’an KH. Ihsan Jampes; Studi Intertektualitas dalam Kitab Siraj al-Talibin oleh Moch. Arifin mahasiswa STAI Al-Anwar Sarang-Rembang dalam jurnal Studi Al-Qur’an, Al- Itqan vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2015 ini memuat corak dan karakteristik penafsiran Kiai Ihsan Jampes dalam kitab Siraj al-Talibin; Berikutnya adalah; c Buku seri disertasi berjudul “Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes; Menggapai Jalan Ma’rifat, Menjaga Harmoni Umat Telaah Terhadap Pemikiran Tasawuf Kiai Ihsan Jampes” oleh Dr. Wasid SS dari UIN Sunan Ampel Surabaya ini membahas mengenai pemikiran tasawuf Kiai Ihsan Jampes ditinjau dari kondisi sosio-historis; d lalu skripsi berjudul “Interpretasi Sufistik Hadis Tentang Ru’yatullah Fi al-Akhirah Dalam Pandangan Ulama Nusantara Studi Kitab Siraj al-Talibin Karya Kiai Ihsan Jampes oleh Rofiatul Adamiyah pada Program Jurusan Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel pada tahun 2018. Dengan demikian, menurut penulis, kajian maqasid Al-Qur’an yang memfokuskan pada objek kitab yang sama yaitu Siraj al-Talibin belum pernah dilakukan sebelumnya. MAQASID AL-QUR’AN AL-GHAZALI Istilah “maqāṣid” berasal dari lafaz “qa-ṣa-da”, yang mempunyai perubahan bentuk morfologi seperti “al-qaṣdu, al-maqṣad, al-qāṣid, al-maqāṣid, al-iqtiṣād”, dan lainnya. Menurut Ibn Jinni, asal kata “maqṣad” adalah rangkaian huruf “q-ṣ-d”, yang dalam tradisi lisan bangsa Arab berarti niat al-i`tizām, orientasi at-tawajjuh, fokus an-nuhūd, bergerak maju an-nuhūḍ menuju sesuatu titik atau demikian, secara ringkas dapat dipahami bahwa maqasid adalah langkah utama menuju suatu tujuan inti tanpa adanya penyimpangan arah. Secara terminologis, “maqṣad” berarti tujuan dan sasaran. Lebih lengkapnya adalah tujuan dan sasaran yang dikehendaki oleh Pembuat Syariat dalam pensyariatan hukum-hukum bagi manusia. Beberapa persamaan kata dari lafaz maqāṣid’ yang sering digunakan di kalangan ahli fikih dan uṣūl adalah sasaran al-ahdāf, tujuan al-ghāyāt, target al-aghrāḍ, hikmah al-ḥikam, makna al-ma`āni, dan rahasia al-asrār. Diantara sekian sinonimitas tersebut, penulis memfokuskan pada kata yang bermakna hikmah. Hal ini untuk menyelaraskan objek penelitian yaitu kajian kitab bernuansa tasawuf. Pengertian maqasid Al-Qur’an dalam sejarahnya disinggung pertama kali oleh `Izzudin ibn `Abdussalam. Yaitu kebanyakan maqasid Al-Qur’an ialah suatu hal yang berkaitan dengan kemaslahatan dan sebab-sebabnya, sebaliknya juga konsekuensi dari tindakan yang menimbulkan kerusakan dan sebab-sebabnya. Pemahaman ini ia dasarkan pada asumsi bahwa di dalam Al-Qur’an tidak lain terdapat perintah untuk berbuat kebaikan karena dapat menarik kemaslahatan dan larangan berbuat keburukan yang dapat menolak kerusakan. Secara lebih radikal, al Raysuni berangkat dari pengertiannya bahwa tafsir an-nuṣūṣ tekstual sebagai proses digalinya hukum-hukum dengan menghadirkan makna-makna, hikmah, dan kemaslahatan yang berlaku atas syara’ dengan selalu mewujudkan dan merealisasikannya. Hal Abdul Karim Hamidiy, Madkhal Ila Maqasid al-Qur’an. Riyadh Maktabah al-Rusyd, 2007, 18 Hamidiy, Madkhal Ila Maqasid, 20. Cholid Ma’arif 60 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 itu diakuinya dapat dilakukan dengan memberlakukan dampak kemaslahatannya dalam memahami nash dan mengarahkan kecenderungannya dalam penggalian hukum, walaupun harus mengubah nash dari makna lahirnya. Karena masih dimungkinkan untuk dibatasi atau dikhususkan atau diumumkan lafadz lahirnya. Poin penting dalam hal ini adalah takaran kemaslahatan yang dihadapi nash untuk sedapatnya mengungkap maqasid umum Alquran, sedikitnya ada dua cara yang harus ditempuh. Pertama, mengetahui tujuan, karakter, dan `ilat yang muncul pada nash Alquran itu sendiri, berikut latar belakangnya, serta pengaruh dan faedah bagi yang membaca dan mengikutinya, tanpa lagi membutuhkan tafsir dan syarah. Kedua, membuktikan kandungan dan hukum-hukumnya yang terperinci, menggali unsur-unsur yang berkaitan keseluruhannya dan memfokuskan saripatinya. Kedua langkah tersebut juga didasarkan pada maqsad diturunkannya Alquran, yaitu sebagai petunjuk terhadap makhluk, kemaslahatan manusia, dan kelestarian diantara faedah maqasid Alquran adalah penjelasan Alquran secara global seperti mengenai hikmah diutusnya Sang Rasul, diturunkannya kitab-kitab, penjelasan tentang ketauhidan dan hukum, ketaklifan dan keistimewaannya, hingga tentang dibangkitkannya para makhluk di kehidupan setelah mati nantinya. Beberapa catatan tersebut dilandaskan pada ayat-ayat yang mengandung maqasidi, seperti tentang tujuan penciptaan untuk ibadah menyembah dan mengabdi hanya kepada Allah,asal muasal penciptaan dan tujuan kembalinya para makhluk,serta keterkaitan antara Alquran sebagai kitab suci Petunjuk bagi orang-orang yang bagian ini, al Raysuni menyebutnya sebagai langkah Alquran berbicara mengenai maqasidnya ia pemahaman melalui penggalian makna ayat tanpa membutuhkan penjelasan dan keterangan lainnya. Termasuk dalam maqasid bagian ini adalah mampu dirumuskannya tujuan atau partikularitas syariah yang lima yaitu penjagaan dan pemeliharaan jiwa, agama, akal, keturunan, dan sini diketahui kontribusi pendekatan maqasidi dalam penafsiran Al-Qur’an. Salah satunya bahwa pandangan maqāşid Alqur’ān yang holistik mampu memperluas cakupan obyek ayat. Dari yang sebelumnya terfokus pada ayat-ayat ahkām menjadi hampir keseluruhan ayat baik itu tematik tentang keimanan, eskatologis, maupun kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Metode ini dikembangkan dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk tema-tema, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai dominan yang didasari pada sebuah persepsi tentang Al-Qur’an sebagai sesuatu kesatuan yang berintegrasi. Imam al-Ghazali w. 505/ 1111 M kemudian mengembangkan interpretasi tersebut dengan berbasis kemaslahatan yang dikenal kemudian dengan konsep tujuan-tujuan syariah maqāṣid al-sharῑ`ah. Di dalamnya terkandung prinsip-prinsip yang lima kulliyyah al-khams, Muḥammad Naṣif al-`Aṣri, Al-Fikr al-Maqāṣidi `Inda al-Imām Mālik wa `Alāqatuhu bi al-Munādhirāt al-Uṣūliyyah wa al-Fiqhiyyah fi al-Qarni al-Tsani al-Hijri, Kairo Markaz at Turaz al Tsaqafi al Maghribi, 2008, 171. Muḥammad Naṣif al-`Aṣri, Al-Fikr al-Maqāṣidi., 25. al-Ḥāmidiy, Madkhal , 29. QS. Adz-Dzāriyat 56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku. QS. Al-Mukminun 115. Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? QS. Al-Isra’ 9. Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih Lurus QS. Al Baqarah 2. ..; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. Al-Raysūniy, Maqāṣid al-Maqāṣid., 4. Al-Khādimiy, Al- Ijtihād al-Maqāṣidiy,. 70. Jaser Audah, Al Maqasid Untuk Pemula, terj. Ali Abdelmon’im Yogyakarta Suka Press, 2013, 82 . Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 61 yaitu pemeliharaan jiwa ḥifzh al-nafs, agama ḥifzh al-dῑn, akal pikiran hifzh al-`aql, kehormatan hifzh al-`irdh, dan harta hifzh al-māl. Dalam versi lain, salah satu dari poin diatas tergantikan dengan prinsip pemeliharaan keturunan hifz al-nasl. Kemunculan maqasid al-syariah yang lima tersebut tidak bisa dilepaskan dari maqasid Al-Qur’an yang sebenarnya lebih dulu ia rumuskan. Bahwa dalam pendahuluan karyanya, ia menginformasikan tiga pokok pembahasan kitab Jawāhir al-Qur’ān. Yaitu terdiri dari al-muqaddimāt, al-maqāṣid, dan bagian pertama pembahasan tentang pembagian secara garis besar atau pengantar al-muqaddimāt, bagian kedua pembahasan tentang maqasid utama atau dengan istilah al-Ghazali yaitu al-Jawāhir sebagaimana penyebutan nama kitab, dan terakhir lebih pada lampiran-lampiran ayat dengan kategori dimaksud. Adapun pembagian al Ghazali terhadap maqāṣid Al-Qur’an menjadi enam bagian. Tiga bagian pertama disebut dengan ”Maqṣad Pokok Penting” al-Uṣūl al-Muhimmah dan tiga terakhir lagi namakan “Maqṣad Pendukung Penyempurna” at-Tawābi` al-Mutimmah.Struktur Maqṣad Pokok yang Penting terdiri atas tiga tema 1 mengenalkan Dzat Yang Disembah ta`rῑf al-mad`ū ilaih, 2 menjelaskan jalan yang lurus untuk menuju sulūk kepada Tuhan ta`rῑf al-ṣirāṭ al-mustaqῑm li sulūki ilaihi, dan 3 menerangkan keadaan ketika manusia di akhirat ta`rῑf al-wuṣūl ilaihi. Sedangkan struktur Maqṣad Pendukung Penyempurna juga terdiri dari tiga tema 1 menguraikan keadaan para sālik orang yang taat pada Allah dan para nākib orang yang ingkar pada Allah atau sebagai motivasi at-tarġῑb dan kewaspadaan at-tarhῑb, 2 menceritakan kisah keadaan para penentang dan cara membantahnya ḥikāyah aḥwāl al-jāḥidῑn wa kaṣfu juhulihim, dan 3 menunjukkan pemahaman cara hidup di dunia sebagai bekal dan persiapan akhirat ta`rῑf `imārah manāzil aṭ-ṭarῑq li-isti`dād wa zād. Diantara keenam bagian maqasid Al-Qur’an menurut al-Ghazali tersebut, maqsad terakhir adalah paling mendekati aspek maqasid kemaslahatan. Karena di dalamnya terdapat pembahasan sebab-sebab menjaga kemaslahatan. Diantaranya seperti makan-minum dalam rangka memelihara badan dan menikah untuk menjaga keturunan. Jadi diciptakannya makanan untuk menjaga kehidupan dan perempuan untuk kepentingan biologis merupakan kebutuhan fitrah manusia yang haus diarahkan sesuai tujuannya yaitu menggapai sulūk keridhaan Allah swt, agar tidak terjadi perebutan dengan saling membunuh antar sesama manusia yang mengarah pada kerusakan. Diketahui bahwa bagian inti maqasid disini merupakan rangkaian dari pengembangan bagian al-muqaddimāt. Dimana pada akhir pembahasan tersebut, al Ghazali memerinci kembali pokok enam maqasid menjadi sepuluh kata kunci, yaitu 1 tentang Dzat Allah; 2 Sifat Allah; 3 Af`āl Allah; 4 tentang Akhirat; 5 Ṣirāṭ al-Mustaqῑm; 6 Penyucian hati; 7 kisah para Wali; 8 kisah para musuh Allah; 9 Bantahan terhadap kafir; dan 10 pada sepuluh kata kunci tersebut yang dinamai dengan ilmu-ilmu keagamaan, al Ghazali kembali mengelompokkannya menjadi tiga bagian besar, yaitu 1 ilmu al-ṣadāf kerang, dan 2 ilmu al-jawhar permata dan al-lubāb saripati.Pada level kerang akan didapati beberapa ilmu yang Muḥammad Naṣif al-`Aṣri, Al-Fikr al-Maqāṣidi, 130. Imam Abu al-Ḥāmid al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 14. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 23. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 24. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 33. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 34. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān , 35. Cholid Ma’arif 62 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 mengantarkan perkenalan pada Al-Qur’an, seperti ilmu bahasa, ilmu, nahwu, qiraat, fonologi, dan lain sebagainya. Adapun pada level saripati dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu tingkat terendah dan tingkat teratas. Tingkat terendah yang disebut dengan “at-tawābi` al-mutimmah” terdiri dari tiga, yaitu mengetahui kisah-kisah dalam Al-Qur’an, tentang mendebat dan menyingkap kegagalan argumen kaum penentang, dan ketiga pengetahuan tentang hukuman-hukuman tingkat teratas juga terdiri dari tiga bagian, yaitu makrifat pada Allah, jalan menuju kepadaNya seperti penyucian diri, dan keadaan di akhirat. Dalam pembahasan bagian al-maqāṣid, al-Ghazali membagi inti Al-Qur’an menjadi dua bagian dengan istilah yang familiar, sangat mulia, dan berharga sesuai maknanya. Pertama; al-Jawāhir, yaitu ayat-ayat mengungkap tentang Dzat, Sifat, serta Perbuatan Allah swt, dan konsep ini disebut dengan bagian ilmu atau pengetahuan. Kedua; al-durar, yaitu ayat-ayat yang menjelaskan tentang ṣirāṭ al-mustaqῑm jalan mencapai Allah, baik anjuran-anjuran maupun larangan-larangannya, sehingga konsep ini disebut sebagai bagian amal atau perbuatan. Sebagai perbandingan al Ghazali menyebut terdapat keseluruhan ada 763 ayat permata dalam Al-Qur’an dan yang 14 ayat ada di surat al-Baqarah dan seterusnya. Sedangkan contoh ayat mutiara Al-Qur’an terdapat 741 ayat dan 46 ayat diantaranya terdapat pada surat ketiga dari kitab Jawāhir al-Qur’ān adalah al-Lawāḥiq penambahan, lampiran. Yaitu catatan bagi yang menghendaki untuk dituliskan secara ringkas dan terpisah dari pembahasan utamadan dinamai dengan “catatan 40 pokok amal duniawi”, baik lahir maupun batin. Amal lahir terbagi menjadi sepuluh bagian. Sedangkan amal batin berupa penyucian hati dari akhlalk tercela. Akhlak tercela ini terdiri dari 10 pokok, begitu juga dengan akhlak terpuji. Rincian catatan 40 tersebut terbagi ke dalam bagian mengenal Allah, amal lahir, akhlak tercela, dan akhlak terpuji. Bagian mengenal Allah terdiri 10 macam, yaitu pokok dalam Dzat Allah, penyucian Dzat, Qadrat, Ilmu, Iradah, Mendengar dan Melihat, Kalam, Perbuatan, Hari Akhir, dan Kenabian. Begitu juga amal lahir terdiri dari 10, yaitu pokok dalam salat, zakat, puasa, haji, membaca Al-Qur’an, zikir, mencari kehalalan, budi pekerti, amar ma`ruf nahi munkar, dan mengikuti sunnah halnya akhlak tercela juga terbagi 10 macam, yaitu rakus makan, banyak bicara, marah, dengki, cinta dunia, gengsi tinggi, cinta harta, sombong, bangga diri, dan pamer. Terakhir dalam hal akhlak tercela juga sama terbagi 10, yaitu taubat, rasa takut dan berharap, zuhud, sabar, syukur, ikhlas dan jujur, tawakal, rasa cinta, ridha atas qadha, dan hakikat kematian termasuk di dalamnya siksa ruh pada api neraka. SYEKH IHSAN DAN KITAB SIRĀJ AṬ-ṬĀLIBῑN Syekh Ihsan al-Jampesi merupakan satu simpul dari rangkaian jejaring ulama-santri yang turut berkontribusi pada perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Lahir pada tahun 1901 di Jampes, salah satu daerah di aliran Sungai Brantas di wilayah Kediri, Syekh Ihsan al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 36. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 39. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 41. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 17. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān,147. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān., 17 al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān., 18 al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 19 Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama Santri Periode tahun 1830-1945, Ciputat Pustaka Compas, 2016, 63. Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 63 ditakdirkan menjadi penerus Pondok Pesantren Jampes. Sebuah pusat pendidikan agama yang didirikan pada tahun 1886 M oleh ayahandanya, KH. Dahlan bin KH. Saleh Bogor, yang masih keturunan Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah dari Cirebon. Sedangkan ibunya, Ny. Artimah adalah putri KH. Sholeh Banjarmelati Kediri. Syekh Ihsan memiliki adik kandung yang bernama KH. Marzuqi Dahlan dan menjadi pengasuh Pesantren Lirboyo Kediri setelah menikah dengan putri KH. Abdul Karim Manaf, Pendiri Lirboyo. Di samping memang jejak pendidikan agamanya yang cukup mumpuni. Yaitu mulai dari nyantri’ di Pesantren Bangkalan di bawah asuhan langsung KH. Kholil, Pesantren Bendo Pare Kediri dengan asuhan KH. Khozin yang masih pamannya sendiri, Pesantren Jamsaren Solo, Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang, dan Pesantren Gondanglegi Nganjuk. Sebagaimana lazim pula diketahui, bahwa pondok pesantren masa penjajahan dulunya selain sebagai tempat pendidikan agama juga menjadi ajang penyemaian semangat perjuangan melawan penjajah dari kiai ke santri. Dalam hal ini, selain sebagai tokoh yang dimintai doa dan restu oleh para pejuang, Syekh Ihsan juga mendorong santri-santrinya untuk bergabung dalam perang melawan pihak penjajah Belanda. Estafet perjuangan Syekh Ihsan berlanjut pada para santrinya yang telah mewarisi keilmuan dan semangat pengabdiannya. Diantara mereka terdapat nama Kiai Soim pengasuh pesantren di Tanggir Tuban, KH. Zubaidi Abdul Ghofur pengasuh pondok pesantren Mamba`ul Ma`arif di Mantenan Blitar, KH. Mustholih Kesugihan Cilacap, KH. Busyairi Sampang Madura, K. Hambili Plumbon Cirebon, K. Khazin Tegal, dan lain sebagainya. Warisan terpenting dari Syekh Ihsan adalah produk keilmuannya yang beberapa terdokumentasikan dengan baik. Diantaranya adalah berupa karya kitab Taṣriḥl-`Ibārāt setebal 48 halaman pada tahun 1930 yang merupakan penjelas dari kitab Natῑjāt al-Miqāt karya KH. Ahmad Dahlan Semarang. Kemudian pada 1932 menyusul karya monumental berjudul Sirāj aṭ-Ṭālibῑn, sebagai syarah dari kitab Minhāj al-`Ābidῑn karya al-Ghazali, dengan tebal 800-an halaman yang bernuansa tasawuf. Berikutnya kitab Manāhij al-Imdād yang terbit tahun 1940 setebal 1088 halaman ini juga mengulas tasawuf karena merupakan syarah dari kitab Irshād al-`Ibād karya Syekh Zainuddin al-Malibari. Terakhir adalah karya bernama Irshād al-Ikhwān fi Bayān Ḥukm Shurb al-Qahwah wa al-Dukhān yang merupakan adaptasi puitik juga syarah dari kitab Tadzkirah al-Ikhwān fi Bayāni al- Qahwah wa al-Dukhān karya gurunya, KH. Ahmad Dahlan Semarang, dengan tebal 50-an halaman dan mengulas tentang polemik hukum merokok dan minum kopi. Kitab Sirāj al-Ṭālibῑn `alā Minhāj al-`Ābidῑn ilā Jannati Rabb al-`Ālamῑn merupakan suatu penjelasan dan komentar dari pengarangnya, yaitu al-Syaikh Iḥsān Muḥammad Daḥlān al-Jampesῑ al-Kadῑrῑ w. 1952 -atau biasa ditulis Syekh Ihsan-, atas karya monumental al- Abi Ḥāmid Muḥammad bin Muḥammad al-Ghazāli w. 1111. Hingga saat sekarang kitab Sirāj al-Ṭālibῑn Sang buyut, atau nenek dari ayahnya, yang bernama Ny. Isti`anah merupakan putri dari KH. Mesir bin K. Yahuda seorang ulama sakti asal Lorog Pacitan kemudian bersambung pada Panembahan Senopati pendiri Kerajaan Mataram abad ke-16. Adapun dari jalur ibu, buyut dari Syekh Ihsan tersebut merupakan cicit dari Syekh Hasan Besari Tegalsari Ponorogo yang masih keturunan Sunan Ampel. Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara., 103. A. Ginanjar Sya’ban, Mahakarya Islam Nusantara Kitab, Naskah, Manuskrip,dan Korespondensi Ulama Nusantara, Ciputat Pustaka Compas, 2017, 449. A. Ginanjar Sya’ban, Mahakarya Islam Nusantara, 104. A. Ginanjar Sya’ban, Mahakarya Islam Nusantara, 447. Cholid Ma’arif 64 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 menjadi satu-satunya kitab syarah atas kitab Minhāj al-`Ābidῑn. Bahkan oleh salah satu penerbit di Timur Tengah pernah suatu kali karya ulama Nusantara ini diterbitkan atas karya al-Syaikh Aḥmad Zayni Daḥlān al-Ḥasani al-Hashimi al-Qurayshi Ihsan menyelesaikan penulisan kitab syarah ini hanya dalam tempo delapan bulan kurang beberapa hari saja, tepatnya selesai pada hari Selasa 29 bulan Sya’ban 1351 H atau berkesesuaian dengan tanggal 28 Desember 1932 M di desa Jampes Kediri. Sebagai kitab penjelas yang memuat komentar terhadap kitab sumbernya, Sirāj al-Ṭālibῑn karangan Syekh Iḥsān tentu mempunyai format dan karakter yang sama secara umum, terutama dalam pengutipan ayat-ayat Al-Qur’an, hadits, dan syair-syair Arab. Perbedaannya, dalam mengurai penjelasan ayat-ayat tersebut Syaikh Ihsan mengutip banyak ragam sumber penafsiran. Terkait hal ini Syekh Ihsan dalam syarahnya menempuh intratekstulitas dengan munasabah ayat. Termasuk dengan memunculkan ayat Al-Qur’an lain yang tidak ada dalam kitab matannya. Kemudian cara intertekstualitas yaitu dengan melibatkan teks-teks hadits dan teks lainnya seperti syair-syair Arab serta maqolah lain ke dalam syarah karyanya. AYAT AL-QUR’AN DALAM KITAB SIRĀJ AT-TĀLIBῑN MENURUT RUMUSAN AL-GHAZALI Menurut pengamatan penulis, setidaknya terdapat 18 tematik ayat diantara puluhan pembagian tema dalam kitab tersebut. Dalam tiap tematik ayat terdapat setidaknya antara 3 – 5 penggalan ayat dari surat yang berbeda dengan jumlah keseluruhan 80 ayat. Merujuk pada sistematisasi maqāṣid Al-Qur’an al-Ghazali yang terdiri dari enam bagian dan dikelompokkan menjadi dua bagian besar, maka pembagian dari keseluruhan ayat dalam kitab Sῑraj al-Ṭālibῑn akan terklasifikasikan sebagaimana dalam tabel berikut Tematik kitab Sῑraj al-Ṭālibῑn Kutipan Ayat yang digunakan QS. 65 7, QS. 94 2-3, QS. 94 5-6, QS. 2 193, & QS. 33 43 QS. 39 53, QS. 27 70, QS. 3 135, QS. 15 49-50, QS. 3 30, & QS. 48 1-2. QS. 40 3, QS. 42 25, & QS. 110 3 Menjelaskan Jalan sulūk Menuju Allah QS. 2 197, QS. 65 2-3, & QS. 25 58. QS. 47 19, QS. 42 25, QS. 5 3, QS. 40 55, QS. 110 3 Sebagai informasi, al-Imām al-Ghazzālῑ sendiri mempunyai tiga buah karya masterpiece’ di bidang tasawuf, yaitu selain Minhāj al-Ābidῑn, ada pula Bidāyah al-Hidāyah yang di-syarah oleh Syeikh Nawawi al-Bantanῑ w. 1897 dengan kitabnya Murāqi al-Ubūdiyyah, kemudian Iḥyā` Ulūm al-Dῑn yang di-syarah oleh Syekh Muḥammad Murtadhā al-Zabῑdῑ w. 1790 melalui kitabnya Iṭāf al-Sādah al-Muttaqῑn dan oleh Abdul Ṣamad Palembang w. 1832 dengan bahasa Melayu dalam kitab Sair al-Sālikῑn., Ibid. Salah satu contoh edisi kitab yang diatasnamakan sebagai karya Syaikh Ahmad Zaini Dahlan adalah kitab Sirāj al-Ṭālibῑn terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah di Libanon pada tahun 2006. Catatan keterangan dan penanggalan ini sebagaimana diinformasikan sendiri olehnya dalam pengantar kitab. Lih. A. Ginanjar Sya’ban, Mahakarya Islam Nusantara., 448. Kitab yang berjudul asli Al Jami‟ Li Ahkam al-Qur’an adalah ensiklopedi tafsir yang memiliki nilai tinggi dan berharga. Al-Qurthubi telah mencurahkan kemampuannya untuk menyusun kitab yang bercirikan kritikan yang obyektif, tarjih, dan di sandarkan pada kekuatan dan ketajaman mata batin. Berisikan pendapat ulama tafsir yang hidup sebelumnya. Imam Al Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkaam al-Qur’an, Jilid I, Alih bahasa Fathurrahman, Ahmad Hotib, Nasirul Haq, xvii Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 65 Taat pada Allah dan RasulNya QS. 20 2, QS. 15 87-88, QS. 43 33-35, Merasa sebagai makhluk yang lemah QS. 90 4, QS. 33 72, QS. 76 1, Menerangkan keadaan di Akhirat Pahala dan Dosa Atas Perbuatan Hamba sendiri QS. 53 39, QS. 25 68-69, QS. 19 60, QS. 25 70, QS. 39 16 Penghuni surga hidup kekal QS. 48 5, QS. 23 107-108 Penggolongan catatan amal menjadi kanan dan kiri QS. 56 8-11, QS. 56 88-89, QS. 19 85-86, QS. 76 21-22, QS. 41 40 Keadaan Arwah Para Syuhada’ Menjelaskan orang yang taat dan ingkar pada Allah sālik wa nākib Kisah sebagian Umat Nabi Musa as. yang haq dan adil Kisah Muhammad ibn Munkadar yang hangus amal Kisah Bal`am bin Baura`yang mendustakan ayat Kisah Nabi Daud as. yang bertaubat atas kesalahannya Kisah Nabi Yunus as. dan kesabarannya atas ujian Allah 35, QS. 68 48, QS. 21 88, QS. 37 142-144, QS. 68 48-50 Kisah kaum munafik Madinah Kisah kekafiran Abu Sufyan Kisah para penyihir Fir’aun yang masuk Islam Kisah Nabi Musa & Harus as. menang karena mukjizat Allah Kisah Nabi Muhammad tentang karunia Al-Qur’an Kisah doa Nabi Ibrahim tentang anugrah dan keislaman QS. 14 35, QS. 29 67, QS. 2 128, QS. 14 36 Kisah doa Nabi Yusuf tentang tetap dalam keimanan Keadaan Para Penentang Allah dan Mengungkap Kebodohannya Membantah kesia-siaan penciptaan manusia QS. 23 115, QS. 75 36 QS. 4 123, QS. 18 103-104 Hujjah Kenikmatan Dunia Bagi Kafir sebagai Istidraj Islam sebagai nikmat Allah pada hamba, bukan sebaliknya Menjelaskan Cara Mengisi Kehidupan Dunia `Imārat Manāzil Al-ṭarῑq Tidak membunuh tanpa alasan dan tidak berzina Zakat sebagai pintu rahmat Ibadah haji sebagaimana warisan Nabi Ibrahim Setelah diklasifikasi secara umum berdasarkan enam tema besar di atas, beberapa ayat tersebut kemudian dianalisis pada tingkatan berikutnya, yaitu al-Jawāhir permata dan al-durar mutiara Untuk membatasi meluasnya pembacaan terhadap banyak ayat sebagaimana di atas, penulis membatasi hanya pada ayat yang sama persis dijadikan contoh oleh al-Ghazali dalam kitabnya Jawahir al-Qur’an bagian al-jawahir dan al-durar. Adalah sebagai berikut Cholid Ma’arif 66 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 Dari total 16 ayat di atas, dimana porsi ayat al-durar lebih banyak daripada al-jawahir, dan merujuk pada rumusan al-lawāḥiq-nya Jawāhir al-Qur’ān karya al Ghazali, maka dapat diketahui nilai-nilai maqasid dari ayat per ayat yang terjaring dalam bagian ayat permata dan ayat mutiara adalah sebagai berikut a Pokok dalam mengenal Allah Merujuk pada pembahasan sebelumnya, dapat diketahui jumlah ayat yang tergolong kategori utama maqsad ini ada empat ayat, yaitu 1 Thaha [20] 1-2 tentang Dzat Yang Menurunkan Al-Qur’an untuk manusia 2 al-Mukminun [23] 115, Dzat Yang Menciptakan dan KepadaNya-lah tempat kembali; 3 al-Furqan [25] 58 tentang tawakal hanya kepada Dzat yang Kekal dan Maha Suci; 4 al-Mu`mῑn 3, Dzat Yang Maha Pengampun dan Penerima Taubat Tempat Kembali. b Pokok Amal Lahir; Dalam hal ini terdapat ayat 1 al-Hijr [15] 87 tentang diturunkannya tujuh ayat berulang-ulang, yaitu Al-Qur’an 2 al-Ankabut [29] 45, salat sebagai ibadah yang mencegah perbuatan keji dan mungkar. c Pokok Akhlak Tercela; ada empat ayat, yaitu a An-Nisa [4]` 48 tentang syirik sebagai dosa yang tak terampuni. b an-Nisa [4] 65 ayat ini berkisah tentang kaum munafik Madinah c al-Hijr [15] 88 tentang larangan memandang kenikmatan hidup, atau gila jabatan d al-Furqān [25] 68, larangan membunuh dan berzina.. d Pokok Akhlak Terpuji; terkandung diantaranya dalam beberapa ayat berikut a aṭ-Ṭalāq [65] 2-3, janji kenikmatan rezeki tak terduga bagi orang yang bertakwa b al-Hadid [57] 19, orang yang beriman menjadi saksi dan orang amanah di sisi Allah, c al-Ahqaf [46] 35 tentang perintah bersabar dan berteguh hati sebagaimana para Rasul. d Az-Zumar [39] 53, berisikan larangan berputus dari mengharapkan rahmat Allah e al-Furqān [25] 68-70, janji pahala bagi orang yang beriman. f As-Syura [42] 25 ayat ini secara tersirat menjadikan permohonan taubat dan ampunan Demikianlah adalah data tentang ayat-ayat tasawuf yang diambil dari kitab Siraj al-Talibin dan sekaligus tersistematisasikan berdasar rumusan maqasid Al-Qur’an al-Ghazali dalam kitab Jawahir Alqur’an. KEMASLAHATAN SEBAGAI INTI MAQASID AL-QUR’AN KITAB SIRĀJ AL-ṬĀLIBĪN Setelah diketahui tabelisasi ayat berdasar rumusan maqasid Al-Qur’an al-Ghazali dalam pembahasan sebelumnya, maka akan dapat dijelaskan beberapa maqsad pendukung dan maqsad inti dalam kitab Siraj al-Talibin. 1. Maqsad Ketauhidan Salah satu komponen makrifat kepada Allah adalah mengenali SifatNya melalui bentuk keimanan ilmu. Yaitu keimanan yang dilandasi atas pengetahuan hamba tentang segala hal yang tidak bisa diketahui atau diluar kemampuannya. Pada bagian ini terdapat dua corak pengetahuan dalam kitab syarah karya Syekh Ihsan juz II, yaitu corak ketuhanan dan corak eskatologis. Kedua corak ini merepresentasikan dua kelompok maqsad ayat partikular yaitu maqsad pengenalan Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 67 Tuhan dan keadaan eskatologi yang sama wajibnya diimani. Penjabaran maqsad ini adalah sebagai berikut a Mentauhidkan Allah atas segala Dzat, Sifat, dan PerbuatanNya. Salah satunya sebagaimana dikutip pada bagian ini adalah tema Ketetapan qadha’ Allah swt yaitu dalam QS. 951 dan 55 29, Syaikh Ihsan menjelaskan tentang adanya ketetapan yang tidak bisa diubah oleh manusia dan ketentuan yang masih bisa diusahakan, dalam pengertian Allah pula yang Maha Mengatur makhluk-Nya. Sebab upaya manusia itu berbatas kemampuan 657, yang akan berbalas kemudahan 942-3, sesuai janji Tuhan 94 5-6, h. 224. Itu semua merupakan wujud rahmat 2193, dan petunjuk 3343, serta ampunandari Sumber segala ampunan. Sifat ampunan tersebut bertingkat berupa siksaan sebagai bentuk kemenangan dari Allah untuk hambaNya. Mekanismenya adalah pertaubatanyang akan berbalas rahmat-Nya. Pertaubatan merupakan kombinasi dari pengakuan kesalahan diri, rasa penyesalan, ikrar tidak mengulangi, dan pengharapan akan rahmatdari Tuhan Penerima taubatdan Maha mengoreksi hamba-Nya. Puncak itu semua adalah ketauhidan setelah rangkaian ampunan, kesempurnaan nikmat, petunjuk jalan yang lurus, dan pertolongan yang mulia. b Mengimani Narasi Eskatologis Sebagai Bekal Ketauhidan. Balasan amal perbuatandan kondisi orang bertaubat dan beramal saleh merepresentasikan tekstualitas akhirat dalam kitab karya Syaikh Ihsan. Materi api yang mengelilingi merekamemupuskan rasa sesal tiada guna. Pengelompokkan jiwa-jiwa mereka berdasar amaldengan kategori kanan dan kiri. Yaitu amal baik mendapat tempat terhormat agar menjadi pelajaran di masa kini Penafsiran didasari Syekh Ihsan dengan mengutip hadis  و مقا تعفر. Lih. Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II,. 217. Az-Zumar [39] 53, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 258. al-Furqān [25] 70, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 258. Ali Imrān [3] 135, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 260. al-Hijr [15] 49-50, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 264. Ali Imrān [3] 30, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 264. al-Fath [48] 1-2, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 281. al-An’am [6] 54, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 261. al-A’rāf [7] 154, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 261. al-Mu`mῑn [40] 3, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 260. as-Syura [42] 25, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 261. al-Nashr [110] 3, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 283. Huud [11] 112, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 280. Muhammad [47] 19, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 282. an-Najm [53] 39, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 217. al-Furqan [25] 68-69, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 258. Maryam [19] 60, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 258. al-Furfan [25] 70, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 258. az-Zumar [39] 16, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 262. al-Mu’minūn [23] 107-108, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 332. al-Waqi`ah [56] 8-11, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 332. al-Waqi`ah [56] 88-89, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 332. Maryam [19] 85-86, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 329. al-Insān [76] 21-22, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 332. al-Fushshilat [41] 40, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 330. Cholid Ma’arif 68 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 berbeda ditunjukkan bagi pelaku syahidyang menempati keistimewaan yang dirahasiakan-Nya. 2. Maqsad Kemaslahatan sebagai Implementasi Ketauhidan Al-Ghazali memposisikan ayat-ayat al-Durar mutiara /baca pendukung sebagai bagian dari keimanan amaliah, yaitu bentuk keimanan yang tidak sekedar menjadi keyakinan, namun juga diimplementasikan. Hal ini menemui titik temunya ketika Syekh Ihsan menerjemahkan ayat-ayat yang lebih mendominasi daripada kategori ayat al-Jawahir intan /baca pokok. Diantara tujuan pembahasannya adalah 1 Penyucian Diri sebagai bagian dari Pemeliharaan Diri. Melalui karyanya, Syekh Ihsan menjelaskan pentingnya ketakwaan serta ganjarannya dari Allah. Dengan syarat diiringi sikap tawakkal dan keyakinan bahwa janji-Nya akan terpenuhi. Salah satu bentuk ganjaran tersebut adalah ridho Allah swt sebagai bentuk balasan yang sebenarnya dari ketakwaan. Bagi orang yang bertaubat disyaratkan adanya penyesalan serta pengharapan yang lebih terhadap rahmat-Nya. Hal itu semua merupakan wujud ketaatan total yaitu dengan senantiasa berbuat amar ma`ruf dan nahi mungkar. Dimaksudkan ma’ruf kebaikan disini salah satunya adalah sikap sabar sebagai perintah mendasar. Karena kesabaran menjadi kunci menjalani ketaatan. Selain itu, sikap syukur ditekankan lewat sebuah kisah percakapan yang reflektif oleh Nabi Muhammad saw.. Rasa syukur bertujuan untuk tidak memalingkan ketakjuban atas nikmat kecuali hanya pada Allah. Sebab hakikat kenikmatan bagi orang bertakwa adalah akhirat sedangkan yang diperoleh oleh kafir hanyalah bentuk istidraj. Deretan sikap tersebut sangat membantu dalam menjalani kondisi sebenarnya manusia yang penuh cobaan. Dengan ujian itu pula Allah hakikatnya memercayakan amanat keislaman kepada manusia daripada makhluk ciptaan lainnya. Sehingga fitrah manusia dalam hal ini adalah ketaatan total terhadap `Ibrah dan Hikmah dari Kisah sebagai Upaya Merawat Akal Ali `Imran [3] 169, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II, 325. al-Hadid [57] 19, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 326. al-Baqarah [2] 197, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 116. aṭ-Ṭalāq [65] Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II, Ibid. al-Furqan [25] 58, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 118. aṭ-Ṭalāq [65] 2-3, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 116. ar-Rahman [55] 60, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 118. at-Taubah [9] 72, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 140. al-Māidah [5] 3, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 217. az-Zumar [39] 53, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 258 Muhammad [47] 33, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 258. Qaf [50] 33, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 266. al-Mu’min [40] 55, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II, 280. al-Nashr [110] 3, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II, 280. Thaha [20] 1-2, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II. 284. al-Hijr [15] 87-88, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 475. az-Zukhrūf [43] 33-35, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 499. al-Balād [90] 4, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 499. al-Aḥzāb [33] 72, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 517. al-Insān [76] 1, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 517. Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 69 Pada bagian ini dapat dibaca pada deretan ayat yang tersusun secara sporadis namun membutuhkan penalaran dalam menggali makna di balik kisah. Seperti definisi rahmat yang universal yaitu berupa kitab bagi umat terdahulu dalam kisah Nabi Musa as, pentingnya niat dalam tiap perbuatan dalam kisah Munkadar, serta mengenai keimanan yang tak bisa ditawar dengan kemunafikan sekecil apapun itu sebagaimana dalam kisah Bal`am bin Baura`. Solusi atas problem keumatan tersebut ditutup dengan pesan pertaubatan sebagaimana dalam kisah Daud asdan kesabaran layaknya dialami Nabi Yunus as. Kronologis rangkaian kisah yang berbeda tersebut kemudian tersampaikan kepada Nabi Muhammad saw dalam menghadapi tantangan dakwah. Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi bukti pertolongan Allah yang akan segera direspon bagi mukmin yang bertaubat dan terselamatkan dalam golongan orang-orang sholih. Tantangan dakwah yang dimaksudkan dalam kitab ini adalah kemunafikan sebagian kaum Madinah yang tidak bisa mengukur keluasan rahmat dan kasih sayang Allah. Ditambah dengan pesan peringatan dan ancaman terhadap kekafiran Abu Sufyan. Salah satu peringatannya sebagaimana kisah para penyihir Fir’aun yang berislam setelah ditampakkan kemukjizatan fisikyang dapat menundukkan kesombongan musuh. Lain halnya dengan mukjizat Nabi Muhammad saw berupa karunia Al-Qur’an. Al-Qur’an menjadi pengingat bagi Muhammad saw atas karunia dan anugrah Allah swt kepadanya. Termasuk atas apa yang diajarkan seperti hukum-hukum syara` dan perkara-perkara agama serta hal-hal gaib yang belum pernah diketahui sebelumnya seperti pergerakan isi hati dan kelakuan kaum munafik. Mukjizat terakhir ini menurut Syekh Ihsan merupakan perwujudan dari doa Nabi Ibrahim as. Bahwa salah satunya ditafsirkan sebagai mukjizat yang tidak hanya berhenti untuk pribadi kenabian, melainkan juga keumatan karena menyangkut keterpeliharaan nabi telah dijamin sebelumnya. Sehingga doa Ibrahim menjadi titik awal tentang keselamatan keturunan dan generasi umatnya. Salah satu privasi doa nabi sebelumnya adalah seperti kisah doa ketetapan iman Nabi Yusuf. Selain ayat-ayat kisah di atas, upaya pemahaman tentang nilai yang prnsipil juga terkandung dalam format argumentasi dan bantahan terhadap kaum kafir. Diantaranya seperti beberapa ayat berikut ini yang mengandung bantahan dari prasangka bagi manusia yang al-A’raf [7] 159, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 517. al-Furqan [25] 23, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 517. al-A’rāf [7] 175., Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 273. Ibrāhim [14] 176, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 273. Shaad [38] 24-25, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Ahqaf [46] 35, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Qalam [68] 48, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Anbiya [21] 88, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Shaaffat [37] 142-144, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Qalam [68] 49-50. Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Ḥadῑd [57] 16, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Anfaal [8] 38, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-A`raf [7] 120-121, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Qashash [28] 35, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 285. an-Nisā [4] 113, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. Ibrāhῑm [14] 35, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. al-`Ankabut [29] 67, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. al-Baqarah [2] 128, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. Ibrahim [14] 36, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. Yusuf [12] 101, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. Cholid Ma’arif 70 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 beranggapan bahwa mereka diciptakan bukan tanpa alasan, namun ada tanggungjawab yang harus dipikul untuk memenuhi Hak Allah yaitu disembah. Diantaranya terkandung dalam ayat QS. 23 115Mekanisme tanggung jawab kehambaan tersebut juga berlaku pada bentuk istidrajyang mengandung pesan bahwa ujian bagi orang yang mendustakan wahyu islamNya akan didekati dengan limpahan kenikmatan fana di dunia. Mereka merasa bangga dengan keislaman sebagai berhala diri dan lupa bahwa Allah-lah yang memberikan kuasa nikmat Islam kepada mereka. 3 Mewujudkan Kesejahteraan sebagai Pemenuhan Kulliyāt al-Khams Diantara maqsad ini bisa ditemui diantara dalam ayat yang menyinggung, baik secara tersurat maupun tersirat, kegiatan atau ibadah dunia kaitannya dengan aspek kebermanfaatan. Yaitu tentang pentingnya sosok penengah atau lazim disebut hakim di tiap permasalahan sosial masyarakat, tentang hakikat ridha lebih utama daripada balasan lainnya tercermin pada hakikat salat yaitu mencegah kemungkaran sebagaimana dalam QS. 29 45. Diantara bentuk larangan adalah membunuh tanpa sebab yang syar`i dan tidak berzina. Sehingga dapat dikatakan implikasi hukum dari maqsad ayat ini adalah pemeliharaan jiwa dan keturunan. Kebalikannya, terdapat perintah mengeluarkan zakat sebagai bentuk pintu rahmat, QS. 7 154. Secara implikatif berbuat zakat merupakan implementasi maqasid syariah yaitu pemeliharaan harta. Dalam artian pemberdayaan harta menuju pada pemerataan kesejahteraan sosial. Menyusul perintah ibadah hajiyang dalam rumusan maqasid syariah menempati kategori pemeliharaan agama. 3. Kemaslahatan Dunia-Akhirat sebagai Maqāṣid Pokok Alqurān Berdasarkan hasil penelusuran ayat pada bab sebelumnya, dapat diketahui sejumlah ayat yang tersusun secara sporadis namun tematis. Disebut sporadis karena urutan ayat per ayat yang tersaji bukanlah berasal dari satu surat yang sama. Di sisi lain ditampilkan secara tematik karena merujuk pada klasifikasi tema dalam daftar isi kitab Sirāj al-Ṭālibῑn karya Syekh Ihsan. Dari sini dapat diketahui, bahwa dalam banyak penggunaan ayat Al-Qur’an, Syekh Ihsan secara global menunjukkan maqsad diturunkannya Al-Qur’an, adalah sebagai petunjuk terhadap makhluk dan kemaslahatan manusia. Hal tersebut ditempuh dengan mengambil jalur sufi akhlaqiy dengan memakai corak tafsir isyari. Narasi ini tidaklah berlebihan mengingat kitab Minhaj al-`Abidin yang disyarahi juga mengandung corak tasawuf yang sama. Kata kunci untuk merangkum berbagai tema pada maqasid ayat dalam kitab Siraj al-Talibin adalah ketauhidan dan kemaslahatan. Sebab sebagaimana karakter tasawuf akhlaqiy, dapat dikatakan bahwa maqasid Al-Qur’an bekerja berdasar nilai-nilai kemaslahatan dan prinsip-prinsip umum. Implikasi pemaknaan ini membawa pada suatu kesimpulan bahwa dengan maqasid Al-Qur’an al-Ghazali, pesan ayat tentang akhlak yang diusung oleh Syekh Ihsan melalui karyanya ini adalah penekanan pada pembangunan moralitas yang dimulai dari pribadi untuk kemaslahatan umat. Hal ini nampak pada pokok akhlak terpuji yang menjadi saripati dari maqasid tasawufnya itu sendiri yang mendominasi ke dalam enam bagian ayat dari surat Al-Qur’an yang berbeda. Yaitu ketakwaan aṭ-Ṭalāq [65] 2-3, keimanan al-Ḥadῑd [57] 19 dan al-Furqān [25] 68-70, kesabaran al-Mukminun [23] 115, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. al-Qiyamah [75] 36, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. an-Nisā` [4] 123, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. al-Kahfi [18] 103-104, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 264. al-A`rāf [7] 182, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. al-Hujurat [49] 17, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II.,503. an-Nisa [4] 65, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 140. al-Ankabut [29] 45, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 140. al-Furqan [25] 68, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 140. al-A’rāf [7] 154, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II.,261. al-Baqarah [2] 128, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II.,261. A. Halil Thahir, Ijtihad Maqasidi .., 19. Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 71 dan keteguhan hati al-Aḥqāf [46] 35, pengharapan akan rahmat Allah tiada henti Az-Zumār [39] 53, serta pertaubatan dan permohonan ampunan As-Syūra [42] 25. Uniknya, poin-poin tersebut sejalan dengan narasi besar maqasid Al-Qur’an , yaitu penjelasan Al-Qur’an secara global seperti mengenai hikmah diutusnya Sang Rasul, diturunkannya kitab-kitab, penjelasan tentang ketauhidan dan hukum, ketaklifan dan keistimewaanya, hingga tentang dibangkitkannya para makhluk di kehidupan setelah mati nantinya. Beberapa catatan tersebut dilandaskan pada ayat-ayat yang mengandung maqasidi, seperti tentang tujuan penciptaan untuk ibadah menyembah dan mengabdi hanya kepada Allah, asal muasal penciptaan dan tujuan kembalinya para makhluk,serta keterkaitan antara Al-Qur’an sebagai kitab suci Petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Dengan demikian, cahaya dari kecintaan hanya kepada Tuhan akan berdampak pada perilakunya sebagai pendorong dalam berbuat kebajikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa dua kata kunci turunan dari paduan tasawuf dan maqasid adalah rahmat dan hikmah menuju kemaslahatan. Sebab, adanya hikmah merupakan bukti penolakan pada kerusakan dan sebaliknya menarik kemaslahatan. Untuk itulah syariat diturunkan, begitu juga kenabian dan kerasulan, ilmu pengetahuan, ucapan orang bijak berupa teladan, ungkapan, maupun nasihat, semuanya ditujukan pada kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan dengan cara menegakkan kebaikan, kearifan, keadilan, dan sebagainya. Dengan demikian, poin inilah yang lebih tepat menjadi maqasid ayat-ayat Al-Qur’an dalam syarah Syekh Ihsan yang berkesesuaian dengan maqasid Al-Qur’an al-Ghazali, yaitu mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. PENUTUP Beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah syarah Syekh Ihsan dalam kitab Sirāj al-Ṭālibῑn mengandung format penafsiran ayat Al-Qur’an dengan corak tafsir isyari sufi akhlaqiy nampak mendominasi pensyarahan Syekh Ihsan dalam kitab Sirāj al-Ṭālibῑn Juz II, diantaranya dengan melakukan pengutipan pada karya tafsir klasik seperti tafsir al-Khāzin, beberapa riwayat hadis, bahkan kutipan syair Arab dengan tidak meninggalkan model penafsiran tekstualis atau bil-riwayah. Pembacaan tersebut berhasil didapati penulis dengan menggunakan maqasid Al-Qur’an al Ghazali sehingga ditemukan operasionalisasi maqāṣid al-Qur’ān dengan rincian sebagai berikut 80 ayat yang terdapat dalam syarah Syekh Ihsan tersebar dalam tema terkandung, seperti 17 ayat dalam 7 tema pada maqṣad mengenal Allah, 17 ayat dalam 9 tema pada maqsad jalan suluk, 14 ayat dalam 10 tema pada maqsad keadaan di akhirat, 20 ayat dalam 14 tema pada maqsad hikmah nabi dan kufar, 6 ayat dalam 3 tema pada maqṣad kisah kufar dan bantahan terhadapnya, dan terakhir 5 ayat dalam 5 tema pada maqṣad cara mengisi kehidupan di dunia. Maqasid Alquran dalam kitab Sirāj al-Ṭālibῑn sudah sesuai dengan maqāṣid dalam kitab Jawāhir al-Qur’ān yaitu terwujudnya kebaikan di dunia dan akhirat bagi para hambaNya. Rinciannya, pada kategori “maqsad pendukung yang utama” didominasi pembahasannya tentang jalan suluk menuju akhirat. Sedangkan pada tiga maqsad terakhir, yang disebut dengan “maqsad pendukung yang menyempurnakan”, lebih diwarnai dengan maqsad ayat-ayat tentang kisah dan QS. Adz-Dzāriyat 56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku. QS. Al-Mukminun 115. Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? QS. Al-Isra’ 9. Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih Lurus. QS. Al Baqarah 2. ..; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. Cholid Ma’arif 72 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 hikmah para nabi dan para penentang Tuhan. Hal tersebut juga nampak sekaligus ketika menggunakan formasi lawahiq al-Ghazali yang menunjukkan pengerucutan tema menjadi empat bagian besar, yaitu teologi, eskatologi, doktrin, dan moralitas. Dari empat wilayah ini, ayat-ayat yang mengandung aspek penekanan pada moralitas didapati lebih banyak daripada ketiga aspek lainnya. Menyusul di bawahnya yaitu aspek doktrin berupa perintah salat, zakat, haji, serta larangan membunuh dan zina. Domain empat tema besar ini mengantarkan pada pemahaman bahwa maqāṣid ayat tentang akhlak dalam kitab Sirāj aṭ-Ṭālibῑn tidak lain adalah kemaslahatan di dunia dan akhirat. DAFTAR PUSTAKA Afifuddin Dimyathi, Muhammad, Dr.,Lc., MA, Ilmu at Tafsir; Ushuluhu wa Manahijuhu. Sidoarjo; Penerbit Lisan Arabi, 2016. Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Jakarta Pustaka Alvabet, 2013. Arifin, Moch, Penafsiran Al-Qur’an KH. Ihsan Jampes; Studi Intertektualitas dalam Kitab Siraj al-Talibin, Jurnal Al- Itqan, vol. 1. 2015. Arkoun, Mohammed, Nalar Islami dan Nalar Modern; Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat. Penerbit INIS Jakarta, 1994. Audah, Jaser, Al-Maqasid Untuk Pemula, terj. Ali Abdelmon’im Yogyakarta Suka Press, 2013. -, Naqd Nazariyat al Naskh; Bahth fi Fiqh Maqasid al Shari’ah,. Beirut Al Shabkah al Arabiyah li al Abhath wa al Nashr, 2013. -, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, Bandung PT Mizan Pustaka, 2015 Aziz, Husein, Kiai Ihsan; Potret Tasawuf Nusantara, dalam Abdul Wasid, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes. Surabaya Pustaka Idea, 2016. `Asri al, Muhammad Nashif, Al Fikr al Maqasidi Inda al Imam Malik wa Alaqatuhu bi al Munadhirat al Ushuliyah wa al Fiqhiyyah fi al Qarni al Tsani al Hijri. Kairo Markaz at Turaz al Tsaqafi al Maghribi, 2008. Bashῑr Shammām al, Maqāṣid al-Sharῑ`ah al-Islāmiyyah wa `Alāqatihā bi al- Mabāhith al-Lughawiyyah. Tunisia al-Shirkah al-Tūnisiyyah li al-Nashr wa Tanmiyyah Funūn al-Rasm, 2013. Dhahabi al, Muḥammad Husain, al-Tafsīr wa ’l-Mufassirūn, Juz I. Kairo Maktabah Wahbah, 2000. Ghazali al, Muḥammad Kayfa Nata`āmal Ma’a Alqur’ān. Mesir Dar al-Wafa, 1990. Jampesi al, Syaikh Ihsan, Siraj at Talibin Sharh Minhaj al Abidin juz 2. tp Dar al-Fikr, tt. Khadimiy al, Nur al Din Mukhtar, Al Ijtihad al Maqasidiy Hujjiyatuhu Dhawabituhu Majalatuhu. Qatar Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, 1997. Qahtani al, Musfir bin Ali, al-Wa’y al Maqasidi Qira’ah Mu’asirah li al-Aml bi Maqasid al Shari’ah fi Manahi al Hayah”, Beirut al Shabakah al Arabiyyah li al Abhath wa an Nashr, 2013. Qurthubi al, Imam, Al-Jami‟ li Ahkaam al-Qur‟an, Jilid I, Alih bahasa Fathurrahman, Ahmad Hotib, Nasirul Haq, xvii Raysuni al, Ahmad, Maqasid al Maqasid al Ghayat al Ilmiyyah wa al Amaliyyah li Maqasid al Shari’ah. Beirut al Shabakah al Arabiyyah li al Abhath wa al-Nashr, 2013. Tusi al, Imam Abu al-Ḥāmid al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān. Beirut Dar al-Iḥyā al-`Ulūm, 1986. Yubi al, Muḥammad Sa’d bin Aḥmad Mas’ud, Maqāṣid al-Sharῑ’ah al-Islāmiyyah Wa Alāqatuhā bi al-Adillah al-Shar’iyyah. Riyadh Dar al- Hijrah li al-Nasr wa al-Tawzi’, 1998. Zarkashi al, Badr al-Dīn. al-Burhān fi Ulūm al-Qur’ān, tahqiq Ahmad Ali. Qahirah Dār al-Ḥadīth, 2006. Zarqani al, Muḥammad `Abdul `Aẓῑm, Manāḥil al-`Irfān fi `Ulūm al-Qur’ān. Kairo Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2003. vol. 2, 14 Bakir, Moh,.“Konsep Maqasid Al-Qur’an Perspektif Badi’ al-Zaman Sa’id Nursi”, Jurnal El-Furqonia, 1. 2015. 4. Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 73 Bizawie, Zainul Milal, Masterpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama Santri Periode tahun 1830-1945. Ciputat Pustaka Compas, 2016. Halil Thahir, Ahmad, Ijtihad Maqasidi Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah. Yogyakarta Penerbit LkiS, 2015. Hamidiy, Abdul Karim, Madkhal Ila Maqasid al-Qur’an. Riyadh Maktabah al-Rusyd, 2007. Goldziher, Ignaz, Madzhab Tafsir; Dari Klasik Hingga Modern. Yogyakarta Penerbit Elsaq, 2010. Haq, Hamka, Al Syathibi Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqat. Jakarta Penerbit Erlangga, 2007. Jawwas, Mursyid, “Jejak Maqashid Al-SyariAh Di Nusantara Melacak Fuqahā Berbasis Maqashid Al-Syari’ah Dan Hasil Ijtihadnya”, Conference Proceedings – ARICIS I, 155 Kodir, Faqihuddin Abdul, Qira’ah Mubādalah Tafsir Progresif Untuk Keadilan Gender dalam Islam. Yogyakarta Ircisod, 2019. Manzur, Ibnu. Lisān al-Arab. Beirut Dar-Al-Ma’rifah, 1979. Mustaqim, Abdul, Tafsir Jawa; Eksposisi Nalar Shufi-Isyari Kiai Sholeh Darat. Yogyakarta Idea Press, 2018. -. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an; Studi Aliran-aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan hingga Modern Kontemporer. Yogyakarta Idea Press, 2016. . -. Metode Penelitian Alqur’an dan Tafsir. Yogyakarta Idea Press, 2015.\ Sabil, Jabbar, “Dinamika Teori Maqasid”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, 02. 2011, 41. Samsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran. Yogyakarta Nawesea Press, 2017. Wasid, Ahmad, SS, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes;Menggapai Jalan Ma’rifat Harmoni Umat. Surabaya Pustaka Idea, 2016. Wijaya, Aksin, “Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis”. Yogyakarta; Penerbit LKiS, 2009 Taufiqurrahman TaufiqurrahmanResya Farasy NaffasaThis study aims to examine the perspective of Aisyaḧ Abdurrahman al-Syati’ 1913-1998, as a contemporary female mufassir, regarding eschatological verses in surah al-Zalzalaḧ to prove the epistemological construction of interpretations based on sources, methods and validity of truth. The object of this research is the text and its relationship with past events, that a literature study is carried out to learn content analysis using a historical approach. The primary data in this study is the book of Tafsyr al-Bayany and supported by literature on the epistemology of interpretation in a philosophical approach. The results revealed that Âisyah Abdurrahman has interpreted surah al-Zalzalaḧ referred to Arabic language grammar, the prophet’s hadith, and previous interpretations. In the epistemology of interpretation, the verses about eschatology are not sufficient if they are interpreted in language separately, despite proving the validity of interpretive coherence, she remains consistent in using those method, even correspondingly the interpretation of zilzal is a picture of the earth’s condition when it shakes in accordance with the reality and scientific facts about earthquake, as well as in line with the argument about a doomsday that is bound to happen as found in terms in the Qur’ Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?QsAl-MukminunQS. Al-Mukminun 115. Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?Penafsiran didasari Syekh Ihsan dengan mengutip hadisAl Maqasid Untuk Jaser 'audahPemulaJaser 'Audah, Al Maqasid Untuk Pemula, terj. 'Ali 'Abdelmon'im Yogyakarta Suka Press, 2013, 82. 43 Penafsiran didasari Syekh Ihsan dengan mengutip hadis ‫الصحف‬ ‫جفت‬ ‫و‬ ‫األقالم‬ ‫.رفعت‬ Lih. Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II,. Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz IIAl-Hijral-Hijr [15] 87-88, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 475. 84 az-Zukhrūf [43] 33-35, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., dan keteguhan hati al-Aḥqāf [46] 35, pengharapan akan rahmat Allah tiada henti Az-Zumār [39] 53, serta pertaubatan dan permohonan ampunanA ThahirIjtihad MaqasidiA. Halil Thahir, Ijtihad Maqasidi.., 19. dan keteguhan hati al-Aḥqāf [46] 35, pengharapan akan rahmat Allah tiada henti Az-Zumār [39] 53, serta pertaubatan dan permohonan ampunan As-Syūra [42] 25.maqsad pendukung yang utama" didominasi pembahasannya tentang jalan suluk menuju akhirat. Sedangkan pada tiga maqsad terakhir, yang disebut dengan "maqsad pendukung yang menyempurnakanPada RinciannyaKategoriRinciannya, pada kategori "maqsad pendukung yang utama" didominasi pembahasannya tentang jalan suluk menuju akhirat. Sedangkan pada tiga maqsad terakhir, yang disebut dengan "maqsad pendukung yang menyempurnakan", lebih diwarnai dengan maqsad ayat-ayat tentang kisah danSesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih LurusQsAl-IsraQS. Al-Isra' 9. Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih Moch, Penafsiran Al-Qur'an KH. Ihsan Jampes; Studi Intertektualitas dalam Kitab Siraj al-TalibinTaufik AmalAdnanAmal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an, Jakarta Pustaka Alvabet, 2013. Arifin, Moch, Penafsiran Al-Qur'an KH. Ihsan Jampes; Studi Intertektualitas dalam Kitab Siraj al-Talibin, Jurnal Al-Itqan, vol. 1. AudahAl-Maqasid Untuk PemulaTerj Ali 'abdelmonImAudah, Jaser, Al-Maqasid Untuk Pemula, terj. 'Ali 'Abdelmon'im Yogyakarta Suka Press, 2013. -, Naqd Nazariyat al Naskh; Bahth fi Fiqh Maqasid al Shari'ah,. Beirut Al Shabkah al 'Arabiyah li al Abhath wa al Nashr, 2013. -, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, Bandung PT Mizan Pustaka, 2015Jampesi al, Syaikh Ihsan, Siraj at Talibin Sharh Minhaj al 'Abidin juz 2. tp Dar al-Fikr, tt. Khadimiy al, Nur al Din MukhtarBashῑr Shammām al, Maqāṣid al-Sharῑ`ah al-Islāmiyyah wa `Alāqatihā bi al-Mabāhith al-Lughawiyyah. Tunisia al-Shirkah al-Tūnisiyyah li al-Nashr wa Tanmiyyah Funūn al-Rasm, 2013. Dhahabi al, Muḥammad Husain, al-Tafsīr wa 'l-Mufassirūn, Juz I. Kairo Maktabah Wahbah, 2000. Ghazali al, Muḥammad Kayfa Nata`āmal Ma'a Alqur'ān. Mesir Dar al-Wafa, 1990. Jampesi al, Syaikh Ihsan, Siraj at Talibin Sharh Minhaj al 'Abidin juz 2. tp Dar al-Fikr, tt. Khadimiy al, Nur al Din Mukhtar, Al Ijtihad al Maqasidiy Hujjiyatuhu Dhawabituhu Majalatuhu. Qatar Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Maqasid Al-Qur'an Perspektif Badi' al-Zaman Sa'id NursiMoh BakirBakir, Moh,."Konsep Maqasid Al-Qur'an Perspektif Badi' al-Zaman Sa'id Nursi", Jurnal El-Furqonia, 1. 2015. 4. PDF| On Dec 6, 2018, Yusliadi Yusliadi published HAKIKAT ILMU DALA M PERSPEKTIF AL-GHAZALI | Find, read and cite all the research you need on ResearchGate Ilustrasi fungsi hati dan akal menurut Imam Al Ghazali. Foto adalah mahkluk yang memiliki derajat tinggi dibandingkan makhluk lain. Hal tersebut karena manusia memiliki pikiran dan budi pekerti dalam akal dan hatinya. Akan tetapi banyak manusia yang kesulitan dalam memahami makna keduanya. Akibatnya adalah manusia akan lebih condong dalam salah satu sisi. Padahal sejak dahulu para ulama sudah menjelaskan hubungan antara hati dan akal, misalnya Imam Al Ghazali. Berikut hakikat hubungan antara hati dan akal menurut Imam Al Imam Al GhazaliM. Kamalul Fikri, dalam bukunya berjudul Imam Al-Ghazali 202213, Al-Ghazali atau Algazel merupakan sebutan populer untuk Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at-Thusy. la kemudian juga dikenal dengan nama kunyah Abu Hamid yang berarti bapak Hamid. Namun demikian, kunyah tersebut tidak pasti berarti bahwa Al-Ghazali memiliki anak laki-laki yang diberi nama Hamid. Data yang ditemukan menunjukkan bahwa hanya putri-putri Al-Ghazali yang hidup sampai ia meninggal. Selain itu, Al-Ghazali juga memiliki beberapa nama julukan, yakni Al-Imam, Hujjatul Islam, Zainul 'Abidin, A'jubah az-Zaman, dan Al Ghazali lahir pada 450/1058, yakni sekitar empat setengah abad setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah, dan sekitar tiga puluh tahun setelah Dinasti Seljuk menduduki Baghdad. Abu Hamid lahir di Kota Thus, Provinsi Khurasan, Persia Iran, sebuah kota miskin yang disebabkan kekeringan panjang sehingga penduduknya pun mengalami kelaparan selama beberapa tahun. Al-Ghazali diketahui dimakamkan Tabiran, Qasabah, Hati dan Akal Menurut Imam Al GhazaliHati berasal dari bahasa Arab qal-bun yang artinya jantung. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, jantung adalah bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah letaknya di dalam rongga dada sebelah atas.Definisi hati menurut Imam Al-Ghazali memiliki dua definisi, yakniDefinisi hati pertama sebagai hati fisik yaitu daging yang berbentuk seperti buah shanaubar bentuk bundar memanjang yang terletak di bahagian kiri dada yang mana di dalamnya terdapat rongga-rongga yang menyalurkan darah hitam dan berperanan sebagai sumber nyawa manusia. Definsi hati yang pertama ini wujud pada hewan dan juga pada manusia yang telah hati kedua ditakrifkan hati sebagai hati spiritual yaitu sesuatu yang bersifat halus lathifah dan bersifat ketuhanan rabbaniyyah. Hati dalam definisi kedua ini menggambarkan hakikat diri manusia yang mana hati berfungsi untuk merasai, mengenali dan mengetahui sesuatu perkara atau ilmu. Menurut beliau, hati fisik sangat berkait dengan hati spiritual. Namun, beliau tidak mengulas panjang berkenaan hubungan hati fisik dengan hati spiritual kerana itu termasuk di bawah ilmu akal berasal dari bahasa Arab al-aql yang bersumber dari kata kerja ain, qaf, dan lam yang artinya meningkat dan menawan. Kata al-aql juga sama dengan al-idrak kesadaran, dan al-fikr pikiran, al-hijr penahan, al-imsak penahanan, al-ribat ikatan, al-man’u pencegah, dan al-nahyu larangan.Menurut Imam Al Ghazali, akal merupakan salah satu substansi imaterial yang menunjuk esensi manusia. Akal adalah sesuatu yang halus yang merupakan hakikat manusia, sama dengan al-qalb, al-nafs, dan al-ruh, yang berbeda hanya namanya saja, bahkan akal adalah entitas jiwa yang terlibat dengan inteligensia yang dalam hal ini ia bisa juga disebut dengan intelek’.Ilustrasi hati dan akal berdasarkan wahyu Allah SWT. Foto Hati dan Akal Menurut Imam Al GhazaliImam Al Ghazali menyebutkan hati sebagai akal berlandaskan Al-Quran dan hadits. Sebagaimana firman Allahلَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَاArtinya, “Mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami” QS. Al-HajjL 46Akal maupun hati adalah satu entitas yang sama namun kedua istilah ini mempunyai karakteristik yang membedakan satu sama lain. Hati juga menerima kebenaran namun dalam urusan spiritual, sedangkan akal terbatas dalam urusan inteligensia. Ketika akal hanya berurusan dalam persoalan rasional-empiris, hati lebih menekankan pada sisi rasional-emosional-spiritual untuk memahami fenomena alam dan ayat-ayat Allah. Perbedaan kemampuan ini sejatinya untuk menggapai dua dimensi alam yang berbeda, yaitu alam indra alam syahadah dan alam supernatural alam malakut atau alam ghaib.Selanjutnya, kemampuan hati dalam menjangkau alam metafisik selalu didukung oleh pengetahuan akal, namun pengetahuan ini tidaklah cukup menghindarkan hati dari kesalahan kecuali dengan menerima pengetahuan agama melalui ajaran para nabi. Adanya pengetahuan dari wahyu ini selanjutnya memberi konsekuensi pada hati untuk melaksanakan ajaran yang ada di dalam wahyu. Di sinilah peran hati, yaitu dia juga berakal dan mampu berpikir untuk membenarkan adanya tanzil wahyu. Sebab itu, orang yang tidak yang tidak menerima wahyu Allah, berarti hatinya tidak berakal qulubun la ya’qilun atau buta mata hatinya terhadaprealitas ayat-ayat Allah ta’ma al-qulub.Kelebihan hati atas akal adalah bahwa hati mampu melihat segala hakikat kebenaran. Akal hanya bisa menangkap pengetahuan secara terbatas, yaitu pengetahuan yang hanya bersifat rasional dan empiris melalui indra dan daya nalar, sedangkan hati mampu menangkap kebenaran pengetahuan secara tidak terbatas. Kemampuan yang tidak terbatas itu diperoleh dengan dzauq atau intuisi. Dengan dzauq ini hati dapat memperoleh ilm mukasyafah yang tidak bisa dilalui lewat akal. Namun kemampuan hati ini sering dihalangi oleh kotoran yang mengendap di hati, sehingga menghalanginya untuk menangkap realitas dasarnya, hati dan akal harus saling melengkapi satu sama lain, bukan untuk memenangkan salah satunya. Seseorang yang menggunakan hati dan akalnya dengan baik akan berperliaku dengan baik. Terlebih lagi jika mengikuti Al-Quran dan hadits terbebas dari kebutaan akan kebenaran.MZM
MenurutGhazali, ingat kematian akan menimbulkan berbagai kebaikan. Di antaranya, membuat manusia tidak ngoyo dalam mengejar pangkat dan kemewahan dunia. Ia bisa menjadi legawa (qonaah) dengan apa yang dicapainya sekarang, serta tidak akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisi pribadinya.
JURNAL PALOPO - Kematian adalah sesuatu yang misterius yang tidak diketahui kapan datangnya. Bisa saja hari ini, besok atau hari yang akan datang. Meski misterius, namun setiap orang meyakini bahwa hari itu akan datang. Oleh karena itu, ada baiknya seseorang menyiapkan diri dengan bekal yang banyak. Tetapi sayangnya, manusia sering lupa dan tidak mengingat sesuatu yang pasti ini. Banyak yang sering terlena dengan gemerlap dunia yang singkat. Jika itu terjadi Anda perlu paham hakikat kematian dalam Al-Qur'an dan Hadist. Baca Juga Trik Membersihkan Minyak dan Kerak Mengendap di Wajan dengan Bahan Rumahan Bahkan hidup tak lagi dilandasi oleh niat ibadah, tetapi hanya untuk mengejar perhiasan duniawi yang semuanya serba semu. Allah mengingatkan dalam surah Al-Anbiya ayat 35, bahwa “Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati dan Kami menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan sebagai satu fitnah ujian dan hanya kepada Kami-lah kalian akan dikembalikan.” Dalam surah An-nisa ayat 78 juga disebutkan, “Di mana saja kalian berada, kematian pasti akan mendapati kalian, walaupun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” Baca Juga Sinopsis Ikatan Cinta, 6 Mei 2021, Aldebaran Masih Tidak Percaya Reina Adalah Anak Nino Oleh karena itu, ketika seseorang membicarakan perihal kematian, maka ia sedang mengingatkan dan memberi peringatan bahwa kelak setiap manusia akan kembali ke hadirat-Nya. Paraulama, teolog, filsuf, agamawan, sufi, dan para intelektual hampir semuanya berselisih pendapat dan pandangan tentang agama, alam, manusia, mazhab, bahkan tentang tuhan ada dan tidak. Namun, ketika memasuki prihal kematian semuanya setuju, bahwa setiap makhluk yang hidup pasti akan mati. Kematian tak mengenal waktu, kapan pun, di manapun. Rasulullah ﷺ bersabdaمَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَيُلْهِمْهُ رُشْدَهُ“Orang yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia akan dipandaikan di dalam urusan agama dan ia akan diberi ilham petunjuk kebenaran oleh Allah” HR. al-BukhariItulah sabda Baginda Nabi Muhammad ﷺ dalam menjelaskan betapa ilmu agama penting bagi kehidupan manusia. Dari hadits di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang diberi pemahaman tentang ilmu agama maka ia akan meninggal dalam keadaan husnul khatimah, sebagai bentuk pembuktian akan kebenaran sabda Nabi ilmu agama dalam kehidupan manusia tak ubahnya seperti pengaruh makan dan minum bagi mereka. Imam al-Ghazali, di dalam kitab Ihyâ’ Ulûmid Dîn menyampaikan betapa pentingnya ilmu bagi hati seorang manusia. Di sana, beliau menyitir dawuh dan pernyataan sebagian ulama. Beliau berkataقال فتح الموصلي رحمه الله أليس المريض إذا منع الطعام والشراب والدواء يموت؟ قالوا بلى. قال كذلك القلب إذا منع عنه الحكمة والعلم ثلاثة أيام يموت“Di hadapan para muridnya Fath al-Mushili rahimahullah berkata, Bukankah akan mati jika ada orang sakit yang tidak mendapatkan makan, minum, dan obat ?’ Mereka pun menjawab, “Iya benar, akan mati.’ Begitu juga hati, ketika tidak mendapatkan hikmah dan ilmu selama tiga hari, maka hati akan mati,’ lanjut beliau.”Imam al-Ghazali membenarkan apa yang dikatakan Fath al-Mushili. Karena sesungguhnya makanan hati adalah ilmu dan hikmah. Dengan keduanyalah hati bisa hidup. Sebagaimana badan akan hidup jika makan. Tidak mendapatkan ilmu menyebabkan hati seseorang dalam keadaan sakit dan pasti akan mati, meskipun ia tidak dunia dan kesibukan duniawi bisa membuat orang tidak merasakan hal tersebut. Sebagaimana kondisi sangat ketakutan atau mabuk, red akan bisa “menghilangkan” sakitnya luka yang berat. Kemudian, ketika kematian telah melenyapkan urusan-urusan duniawi dari dirinya, maka baru dia merasakan bahwa dirinya dalam keadaan rusak dan baru dia sangat menyesal. Penyesalan pascakematian ini tentu tidak ada gunanya lagi. Sama seperti orang yang sudah aman dari ketakutannya atau orang yang sudah sadar dari mabuknya, ia baru merasakan luka-luka yang ia alami saat mabuk atau saat kita berlindung kepada Allah ﷻ dari hari terbukanya tirai semua amal. Karena sesungguhnya manusia masih dalam keadaan tertidur. Ketika meninggal dunia, maka mereka baru terbangun dari tidurnya. Imam Muhammad al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmid Dîn, Beirut, Dar al-Fikr, juz I, halaman 8Terdapat berbagai pemahaman di kalangan para ulama terkait dengan maksud dari kata al-hikmah yang tercantum di dalam Al-Qur’an seperti firman Allah ﷻيُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ “Allah memberikan hikmah kepada orang yang Ia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, maka sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak menerima pengingat kecuali orang-orang yang memiliki akal sempurna.” QS Al-Baqarah 269Baginda Nabi Muhammad ﷺ juga pernah bersabdaالْحِكْمَةُ يَمَانِيَّةٌ“Hikmah adalah Yaman.” HR. at-TirmidziAda yang berpendapat maksud dari al-hikmah adalah amal. Ada juga yang berpendapat maksudnya adalah setiap sesuatu yang mencegah dari perbuatan bodoh dan perbuatan jelek. Dan masih banyak lagi pendapat ulama tentang maksud dari kata al-hikmah. Muhammad ibn Qasim ibn Muhammad ibn Zakur al-Fasi, Zuhr al-Akam fi al-Amtsal, halaman 7 Terkait tentang maksud dari kata al-hikmah ini, al-Ghazali berkata di dalam kitab Ihyâ’-nyaونعني بالحكمة حالة للنفس بها يدرك الصواب من الخطأ في جميع الأفعال الاختيارية“Yang saya kehendaki dengan kata al-hikmah adalah kondisi hati yang bisa menjadi sarana mengetahui yang benar dan yang salah dalam semua perbuatan yang kita pilih. Imam Muhammad al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmid Dîn, Beirut, Dar al-Fikr, juz III, halaman 3Wallahu a’lam. Moh. Sibromulisi
Kematianmenumbuhkan ketakutan tersendiri bagi sebagian orang. Sunday, 8 Zulhijjah 1442 / 18 July 2021
Artinya, " Apabila seorang Muslim mati, iringilah jenazahnya" [HR. Muslim]. Dalam mengiringi jenazah ada beberapa adab tertentu yang hendaknya diperhatikan sebagaimana dinasihatkan Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul Al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 438), sebagai berikut: yt7KPZ.
  • e5krs89cyf.pages.dev/489
  • e5krs89cyf.pages.dev/393
  • e5krs89cyf.pages.dev/721
  • e5krs89cyf.pages.dev/892
  • e5krs89cyf.pages.dev/569
  • e5krs89cyf.pages.dev/467
  • e5krs89cyf.pages.dev/588
  • e5krs89cyf.pages.dev/552
  • e5krs89cyf.pages.dev/668
  • e5krs89cyf.pages.dev/387
  • e5krs89cyf.pages.dev/803
  • e5krs89cyf.pages.dev/586
  • e5krs89cyf.pages.dev/583
  • e5krs89cyf.pages.dev/34
  • e5krs89cyf.pages.dev/312
  • hakikat kematian menurut imam al ghazali