KisahPerang Baratayuda (CERITA SINGKAT & LENGKAP) Perang Baratayuda adalah istilah di Indonesia untuk menyebut laga besar di Kurukshetra, sebagai klimaks perseteruan antara Pandawa dan Kurawa. Pihak Kurawa yang berambisi untuk menguasai Astinapura, melakukan segala cara untuk menyingkirkan Pandawa yang sebenarnya merupakan saudara mereka sendiri.
Baratayuda Artikel ini mengenai kisah pertempuran besar antara Pandawa melawan Korawa menurut versi pewayangan. Untuk artikel sejenis yang mengandung mitologi dan sejarah, lihat Perang di Kurukshetra. Baratayuda adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India. Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha, yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta. Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848. Sebab Peperangan Kurukshetra, lokasi tempat Bharatayuddha berlangsung di India. Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi Mahabharata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa atau Yudistira melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana. Akan tetapi versi pewayangan menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah ditetapkan akan terjadi. Selain itu, Padang Kurusetra sebagai medan pertempuran menurut pewayangan bukan berlokasi di India, melainkan berada di Jawa. Dengan kata lain, kisah Mahabharata menurut tradisi Jawa dianggap terjadi di Pulau Jawa. Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari, dan Madrim. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, sehingga membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu. Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi Mahabharata, antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta melalui permainan dadu. Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Keputusan inilah yang membuat perang Baratayuda tidak dapat dihindari lagi. Kitab Jitabsara Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi Mahabharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi tentang urutan siapa saja yang akan menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, atas perintah Batara Guru, raja kahyangan. Kresna raja Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa berhasil mencuri kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih. Namun, sebagai seorang ksatria, ia tidak mengambilnya begitu saja. Batara Guru merelakan kitab Jitabsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta menukarnya dengan Kembang wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Jitabsara yang telah ditakdirkan dewata. Aturan Peperangan Ilustrasi saat perang di Kurukshetra dalam kitab Mahabharata. Jalannya perang Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan perang versi Mahabharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju. Sebagai contoh, apabila dalam versi Mahabharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada hari terakhir di mana Duryudana tewas di tangan Bima. Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh Duryudana sendiri, yang seringkali dilakukannya tanpa perhitungan cermat. Pembagian babak Di bawah ini disajikan pembagian kisah Baratayuda menurut versi pewayangan 1 Seta Gugur Babak 2 Tawur Bisma Gugur Babak 3 Paluhan Bogadenta Gugur Babak 4 Ranjapan Abimanyu Gugur Babak 5 Timpalan Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur Babak 6 Suluhan Gatotkaca Gugur Babak 7 Karna Tanding Babak 8 Rubuhan Duryudana Gugur Babak 9 Lahirnya Parikesit Jalannya pertempuran Karena kisah Baratayuda yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah sisipan yang tidak terdapat dalam kitab aslinya, mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun demikian, inti kisahnya sama. Babak pertama Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa mengangkat Bisma Resi Bisma sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti “gunung samudra.” Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada pemukul Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putera mahkota Mandaraka tewas seketika. Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa. Babak Kedua Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna Trustajumena sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Bisma tetap menjadi pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang Garuda terbang. Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya, Bomawikata, terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma, raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga anak Setyaki, Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna. Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi isma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut, Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi. Tawur demi kemenangan Dalam babak ini juga diadakan korban demi syarat kemenangan pihak yang sedang berperang. Resi Ijrapa dan anaknya Rawan dengan sukarela menyediakan diri sebagai korban Tawur bagi Pandawa. Keduanya pernah ditolong Bima dari bahaya raksasa. Selain itu satria Pandawa terkemuka, Antareja yang merupakan putra Bima juga bersedia menjadi tawur dengan cara menjilat bekas kakinya hingga tewas. Sementara itu Sagotra, hartawan yang berhutang budi pada Arjuna ingin menjadi korban bagi Pandawa. Namun karena tidak tahu arah, ia bertemu dengan Korawa. Oleh tipu muslihat Korawa, ia akan dipertemukan dengan Arjuna, namun dibawa ke Astina. Sagotra dipaksa menjadi tawur bagi Korawa, namun menolak mentah-mentah. Akhirnya, Dursasana, salah satu anggota Kurawa membunuhnya dengan alasan sebagai tawur pihak Korawa. Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu setelah pihak Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah barisan yang diberi nama “Garuda” yang sangat hebat untuk menggempur pasukan Korawa. Kutipan Terjemahan Ri huwusirə pinūjā dé sang wīrə sirə kabèh, ksana rahinə kamantyan mangkat sang Drupada sutə, tka marêpatatingkah byūhānung bhayə bhisamə, ngarani glarirèwêh kyāti wīrə kagəpati Setelah selesai dipuja oleh ksatria semuanya, maka pada siang hari berangkatlah Sang Raja putera Drupada, setibanya telah siap mengatur barisan yang sangat membahayakan, nama barisannya yang berbahaya ialah “Garuda” yang masyur gagah berani Drupada pinakə têndas tan len Pārtha sirə patuk, parə Ratu sirə prsta śrī Dharmātmaja pinuji, hlari têngênikī sang Drstadyumna sahə balə, kiwə pawanə sutā kas kocap Satyaki ri wugat Raja Drupada merupakan kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para Raja merupakan punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap bagian kanan merupakan Sang Drestadyumna bersama bala tentara, sayap kiri merupakan Bhima yang terkenal kekuatannya dan Satyaki pada ekornya Ya tə tiniru tkap Sang śrī Duryodhana pihadhan, Sakuni pinakə têndas manggêh Śālya sirə patuk, dwi ri kiwa ri têngên Sang Bhīsma Drona panalingə, Kuru pati Sirə prstə dyah Duśśāsana ri wugat Hal itu ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sakuni merupakan kepala dan ditetapkan Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Rsi Bhisma dan pendeta Drona merupakan telinga, Raja Kuru merupakan punggung dan Sang Dursasana pada ekor Ri tlasirə matingkah ngkā ganggā sutə numaso, rumusaki pakekesning byuhē pāndawə pinanah, dinasə gunə tkap Sang Pārthāng laksə mamanahi, linudirakinambah de Sang Bhīma kasulayah Setelah semuanya selesai mengatur barisan kala itu Rsi Bhisma maju ke muka, merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna berlipat ganda menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima sehingga banyak bergelimpangan Karananikə rusāk syuh norā paksə mapuliha, pirə ta kunangtusnyang yodhāgal mati pinanah, Kurupati Krpa Śalya mwang Duśśāsana Śakuni, padhə malajêngumungsir Bhīsma Drona pinakə toh Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas, entah berapa ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja Kuru – Pendeta Kripa – Raja Salya – dan Sang Dursasana serta Sang Sakuni, sama-sama lari menuju Rsi Bhisma dan Pendeta Drona yang merupakan taruhan Niyata laruta sakwèhning yodhā sakuru kula, ya tanangutusa sang śrī Bhīsma Drona sumuruda tuwi pêtêngi wêlokning rènwa ngdé lêwu wulangun, wkasanawa tkapning rah lumrā madhêmi lebū Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Kaurawa, jika tidak disuruh oleh Rsi Bhisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu keadaan, akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu Ri marinika ptêng tang rah lwir sāgara mangêbêk, maka lêtuha rawisning wīrāh māti mapupuhan, gaja kuda karanganya hrūng jrah pāndanika kasêk, aracana makakawyang śārā tan wêdi mapulih Setelah gelap menghilang darah seakan-akan air laut pasang, yang merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling bantai, bangkai gajah dan kuda sebagai karangnya dan senjata panah yang bertaburan laksana pandan yang rimbun, sebagai orang menyusun suatu karangan para pahlawan yang tak merasa takut membalas dendam Irika nasēmu képwan Sang Pārthārddha kaparihain, lumihat i paranāthākwèh māting ratha karunna, nya Sang Irawan anak Sang Pārthāwās lawan Ulupuy, pêjah alaga lawan Sang Çrênggi rākshasa nipunna Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia melihat Raja-Raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya, di sanalah terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang gugur dalam pertempuran melawan Sang Srenggi, seorang rakshasa yang ulung
Bharatayuda Guntarayana ketika Sang Begawan Ciptaning menjadi sraya, atas serangan Raja Hima Imantaka, Prabu Niwatakawaca, yang hendak mempersunting primadona kahyangan Jonggring Salaka, Dewi Supraba. Perang Baratayuda, perang dimana terjadi bagaimana prajurit yang maju menjadi senapati, memetik hasil dari apa yang telah ditanam dan disisi
BAGI masyarakat Jawa,kehidupan sehari-hari adalah senatiasa terbentuk dan memiliki kaitan terhadaptiga hal yang saling berkelindan. Hubungan sesama manusia, hubungan manusia dengan alam, serta hubungan manusia dengan Tuhan adalah tiga serangkai elemen kehidupan sehari-hari yang dimaksud. Pemahaman semacam tadi selaras dengan konsep Tri Hita Karana tiga sumber kebahagiaan yang berakar dari zaman Jawa Kuna dan hingga kini masih berkembang dalam masyarakat Bali yang melestarikan ajaran Hindu. Memiliki pula keselarasan dengan konsep khalifah dalam ajaran Islam yang dikenal lebih belakangan oleh masyarakat Jawa. Pemahaman tersebut menegaskan bahwa dalam kondisi apapun, manusia di alam semesta tidak bisa dilepaskan dan memang menjalani hidup yang bergerak menuju kepada Sang Ilahi. Dalam masyarakat Jawa, ini dikenal sebagai konsep sangkan paraning dumadi. Apa yang dituliskan oleh KGPAA Mangkunegara IV dalam bait I Serat Wedhatama sedikit banyak dapat menggambarkan spirit ideal tersebut . Kang tumrap neng tanah Jawa agama ageming aji. Bagi mereka yang mendiami tanah Jawa, agama adalah berguna sebagai penentu martabat Dalam menyampaikan pesan atau petuah moral, orang Jawa seringkali memakai narasi karya sastra ataupun cerita tutur, yang sering kali merupakan narasi-narasi yang berakar dari zaman Jawa Kuna dengan banyak warna pengaruh Hindu-Buddha bersenyawa di dalamnya. Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java menegaskan bahwa Islam yang datang ke Jawa pun tidak sanggup menghapus konsep ini. Bahkan Raffles sendiri mengakui dirinya tidak mampu memahami ruang batin dan logika binner orang Jawa. P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku 2016 mengatakan bahwa melalui kajian karya sastra dapat diketahui cara berpikir para pujangga yang mewakili orang Jawa kala itu. Sementara bila berbicara tentang karya sastra, Zoetmulder dalam Kalangwan 1983 menggambarkan bahwa karya sastra di Jawa telah berkembang sejak masa Jawa Kuna atau masa dominasi Hindu/Buddha. Secara historis, karya sastra warisan Jawa Kuna tidak pula terlepas dari pengaruh India. Namun,oleh masyarakat Jawa dengan kearifan lokalnya, karya-karya sastra India digubah dan ditulis pujangga Jawa sesuai dengan alam berpikir masyarakat Jawa. Bahkan hal ini memengaruhi tradisi tulis di Jawa dengan munculnya aksara dan bahasa Jawa Kuna yang merupakan salah satu dialek bahasa pribumi di Jawa. Ramayana Salah satu karya sastra India yang digubah ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan bahkan disesuaikan kepada latar budaya Jawa adalah epos Ramayana. Di Jawa, cerita ini digubah pujangga Jawa menjadi bentuk kakawin dan ditulis dalam bahasa Kawi maupun Jawa Baru. Cerita ini biasanya ditampilkan dalam seni wayang, sendratari, bahkan dipahatkan dalam relief candi seperti Candi Prambanan dan Candi Panataran. Secara keseluruhan, wiracarta Ramayana di Jawa sama dengan India, yaitu berkisah tentang Rama, awatara Wisnu dalam wujud ksatria, yang menjalani pengembaraan selama 14 tahun, kehilangan Sinta sang istri yang diculik oleh raja raksasa Rahwana dari Alengka, sampai akhirnya dengan bantuan bala tentara kera pimpinan Sugriwa dan Hanoman harus memerangi seisi Alengka untuk merebut kembali Sinta. Hanya saja, cerita Ramayana versi Jawa berhenti di bagian Sinta diboyong kembali ke Ayodya dan Rama dinobatkan menjadi Raja. Itulah alasannya cinta luar biasa Rama-Sinta sering menjadi inspirasi setiap pasangan. Itu tadi beda dengan Ramayana asli versi India. Sekembalinya Rama dan Sinta ke Ayodya, mereka setelah beberapa lama hidup bersama akan lantas berpisah kembali selama bertahun-tahun. Itu terjadi karena beredarnya desas-desus di antara rakyat Ayodya yang meragukan kesucian Sinta selama tinggal di Istana Alengka. Alhasil, Sinta sampai harus bermukim di hutan dan melahirkan maupun membesarkan sepasang anak kembarnya, Lawa dan Kusya, di sana. Bharatayuddha Lakon akbar lain dari India yang digubah ke latar budaya adalahMahabharata. Penggubahannya pun memunculkan banyak versi yang fokus kepada salah satu bagian di antara contohnya adalah Arjunawiwaha, Bharatayuddha, Hariwangsa, Krsnayana, Ghatotkacasraya, hingga Sudamala. Namun, dari sekian banyak sastra gubahan atas Mahabharata, Bharatayuddha adalah satu yang terpenting. Ini antara lain karena kakawin tersebut fokus kepada fragmen terpenting dari Mahabharata, yakni perang besar kubu Pandawa dan Kurawa di Padang Kurusetra, yang merupakan pula klimaks dari keseluruhan alur cerita Mahabharata. Bharatayuddhaberarti “Perang [Wangsa] Bharata. Cerita tersebuti ditulis tahun 1157 oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, atas perintah Maharaja Jayabhaya dari Kediri. Konon sebagai simbol keadaan perang saudara antara Kediri dengan sesama cabang Wangsa Isyana, yakni Janggala. Sebagaimana dipaparkan Zoetmulder dalam Kalangwan, Bharatayuddadibuka dengan kisah Krisna menjadi duta pihak Pandawa yang mendatangi Istana Hastinapura untuk berunding dengan kubu Kurawa. Sayangnya, proposal perdamaian yang diajukan Krisna ditolak dan bahkan dihina pihak Kurawa, menjadikan perang di Kurusetra tak lagi bisa terhindarkan. Cerita kemudian berlanjut dengan penggambaran hari demi hari peperangan di Padang Kurusertra. Itu mulai dari ketika Sweta alias Seta menjadi panglima pihak Pandawa, sedangkan Bhisma menjadi panglima pihak Kurawa. Dipungkasi dengan rangkaian perang tanding Bima melawan Duryudana, aksi gerombolan Aswatama melakukan serangan tengah malam ke perkemahan pihak Pandawa, lalu perjalanan menuju surga yang dilakukan oleh Krisna dan lima bersaudara Pandawa. Bharatayuddayang berbahasa Kawi kemudian diadaptasi ke bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuddha. Penggubahan selanjutnya ini dikerjakan oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta. Dalam waktu kurang lebih beriringan, Bharatayuddha ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha oleh pujangga Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisan ulangnya dimulai tanggal 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848. * BaikRamayana versi Jawa maupun Bharatayuddha selaku kakawin terpenting di antara sekian gubahan Mahabharatapada dasarnya mengandung suatu pesan moralpengingat bahwa harapan itu selalu ada, meski kesulitan datang silih berganti. Alang-alang dudu aling-aling margining keutamaan. Demikian sepenggal petuah bijak yang dikenal orang Jawa dalam hal memandang masalah dan dalam kehidupan semestinya tidak dilihat sebagai penghambat, tetapi justru menjadi jalan bagi kesempurnaan. Jadi jangan sampai ada pemikiran untuk lari dari permasalahan. Hadapilah dan selesaikan secara tuntas. Apapun hasilnya pasrahkan pada Yang Maha Kuasa. Bagi orang Jawa yang kini mayoritas menganut Islam, pesan moral seperti di atas tentu dapat pula dikenal selaras dengan apa yang ada dalam QS. Al-Insyirah 5-6 “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. ” DAFTAR PUSTAKA Iyegar, Kodaganallur R. Srinivasa. Asian Variations in Ramayana. Papers Presented at the International Seminar on Variations in Ramayana in Asia Their Cultural, Social, and Anthropological Significance, New Delhi, Januari 1981. Jatmiko, Adityo. 2015. Tafsir Ajaran Serat Wedhatama. Yogyakarta Pura Pustaka. Poerbatjaraka, Prof. Dr. 1952. Kapustakaan Djawi. Jakarta Djambatan. Raffles, Thomas Stamford. 2015. The History of Java. Yogyakarta Narasi. Riyanto, Mas. 2018. Bharatayuda Jayabinangun. Uwais Inspirasi Indonesia. Swantoro, Pollycarpus. 2016. Dari Buku ke Buku. Jakarta Kepustakaan Populer Gramedia. Zoetmulder, 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta Djambatan.
CiriCiri Teks Cerkak (Titikane Cerkak) Cerkak bahasa Jawa memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Ceritanya pendek atau ringkas. Jumlah tokohnya sedikit. Fiktif atau tidak nyata. Permasalahan yang diceritakan hanya satu. Tokoh yang diceritakan tidak sampai berubah nasibnya. Cerita yang ditulis kurang dari 10.000 kata. Perbesar.
Kitab Baratayuda disebut juga dengan Kakawin Bhāratayuddha, merupakan karya sastra Jawa Kuno yang awalnya ditulis oleh Mpu Sedah lalu kemudian dilanjutkan oleh Mpu Panuluh. Adapun isi dari Kakawin Baratayuda ini adalah kisah perang saudara antara Korawa dan Pandawa, peperangannya sendiri disebut dengan istilah Perang Bharatayuddha. Kitab Bhāratayuddha ditulis atas perintah Maharaja Jayabaya di tahun 1157, ia adalah penguasa dari Kerajaan Kediri. Sebenarnya kitab ini merupakan simbolisme dari perang saudara yang terjadi antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala. Kedua kerajaan ini sama sama merupakan keturunan raja Erlangga. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana V, Kitab Bhāratayuddha digubah dengan menggunakan bahasa jawa baru oleh pujangga bernama Yadisapura. Hasil gubahan tersebut kemudian dikenal dengan nama Serat Barathayudha. Dengan demikian, kitab Baratayuda adalah karya sastra Jawa Kuno yang awalnya ditulis oleh Mpu Sedah lalu kemudian dilanjutkan oleh Mpu Panuluh yang berisi kisah perang saudara antara Korawa dan Pandawa.
Wisanggenimerupakan tokoh istimewa dalam pewayangan Jawa. Ia dikenal pemberani, tegas dalam bersikap, serta memiliki kesaktian luar biasa. Kelahiran Kisah kelahiran Wisanggeni diawali dengan kecemburuan Dewasrani, putra Batari Durga terhadap Arjuna yang telah menikahi Dresanala. Dewasrani merengek kepada ibunya supaya memisahkan perkawinan mereka.
0% found this document useful 0 votes289 views11 pagesOriginal TitleKisah Baratayuda,Mahabarata Versi IndonesiaCopyright© © All Rights ReservedShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes289 views11 pagesKisah Baratayuda, Mahabarata Versi IndonesiaOriginal TitleKisah Baratayuda,Mahabarata Versi IndonesiaJump to Page You are on page 1of 11 You're Reading a Free Preview Pages 6 to 10 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Deceivedby false dawn, the cock crowed and farmers rose for the new day. Sangkuriang's genie servants immediately dropped their work and ran for cover from the sun, which they feared. Sangkuriang grew furious. With all his anger, he kicked the unfinished boat. The boat flew and landed on a valley.
100% found this document useful 1 vote105 views2 pagesDescriptioncerita wayang, baratayudha. jawa tengah, wayang kulit, pandhawa kurawaCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOC, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?100% found this document useful 1 vote105 views2 pagesBaratayudhaDescriptioncerita wayang, baratayudha. jawa tengah, wayang kulit, pandhawa kurawaFull descriptionJump to Page You are on page 1of 2 You're Reading a Free Preview Page 2 is not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Migrasisuku Jawa membuat bahasa Jawa bisa ditemukan di berbagai daerah, bahkan di luar negeri. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
PERANG BARATAYUDA Baratayuda, adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India. Baratayudha merupakan nama dari sebuah peperangan antara Kurawa dan pandawa. Kata “Barata” sendiri yang berarti Perang dan ”Yudha” yang berarti keluarga, jadi Barata Yudha Adalah “perang kuluarga”. Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha Perang Bharata, yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Sebenarnya kitab baratayuda yang ditulis pada masa Kediri itu untuk simbolisme keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala yang sama sama keturunan Raja Erlangga . Keadaan perang saudara itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab Mahabarata karya Vyasa yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya juga keturunan Vyasa sang penulis Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta. Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848. Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi Mahabharata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa atau Yudistira melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana. Akan tetapi versi pewayangan menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah ditetapkan akan terjadi. Selain itu, Padang Kurusetra sebagai medan pertempuran menurut pewayangan bukan berlokasi di India, melainkan berada di Jawa, tepatnya di dataran tinggi Dieng. Dengan kata lain, kisah Mahabharata menurut tradisi Jawa dianggap terjadi di Pulau Jawa. Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari, dan Madrim. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, kenapa yang dipilih Gendari? Karena sekali lagi Dretarastra buta, ia tidak dapat melihat apapun, jadi ketika ia memilih ketiga putri itu yang dengan cara mengangkat satu per satu, terpilih lah Gendari yang mempunyai bobot paling berat, sehingga Dretarastra berpikir bahwa kelak Gendari akan mempunyai banyak anak, sama seperti impian Dretarastra. Hal ini membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Gendari merasa ia tak lebih dari piala bergilir. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu. Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi Mahabharata, antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta melalui permainan dadu. Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Sebenarnya Yudhistira Saudara sulung dari Pandhawa, hanya menginginkan 5 desa saja untuk dikembalikan ke pandhawa. Tidak utuh satu Amarta yang dituntut. tetapi Korawa pun tidak sudi memberikan satu jengkal tanah pun ke pandhawa. Akhirnya keputusan diambil lewat perang Baratayuda yang tidak dapat dihindari lagi. Kitab Jitabsara Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi Mahabharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi tentang urutan siapa saja yang akan menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, atas perintah Batara Guru, raja kahyangan. Kresna raja Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa berhasil mencuri kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih. Namun, sebagai seorang ksatria, ia tidak mengambilnya begitu saja. Batara Guru merelakan kitab Jitabsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta menukarnya dengan Kembang wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Jitabsara yang telah ditakdirkan dewata. Aturan Peperangan Jalannya perang Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan perang versi Mahabharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju. Sebagai contoh, apabila dalam versi Mahabharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada hari terakhir di mana Duryudana tewas di tangan Bima. Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh para penasihat Duryudana yaitu Bisma, Durna dan Salya. Pembagian babak Di bawah ini disajikan pembagian kisah Baratayuda menurut versi pewayangan Jawa. Babak 1 Seta Gugur Babak 2 Tawur Bisma Gugur Babak 3 Paluhan Bogadenta Gugur Babak 4 Ranjapan Abimanyu Gugur Babak 5 Timpalan Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur Babak 6 Suluhan Gatotkaca Gugur Babak 7 Karna Tanding Babak 8 Rubuhan Duryudana Gugur Babak 9 Lahirnya Parikesit Jalannya pertempuran Karena kisah Baratayuda yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah sisipan yang tidak terdapat dalam kitab aslinya, mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun demikian, inti kisahnya sama. Babak pertama Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa mengangkat Bisma Resi Bisma sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti "gunung samudra." Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada pemukul Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putera mahkota Mandaraka tewas seketika. Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa. Babak Kedua Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna Trustajumena sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Bisma tetap menjadi pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang Garuda terbang. Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya, Bomawikata, terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma, raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga anak Setyaki, Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna. Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi Bisma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut di medan pertempuran menghadapi Bisma. Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi. Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu setelah pihak Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah barisan yang diberi nama “Garuda” yang sangat hebat untuk menggempur pasukan Korawa. Kutipan Terjemahan Ri huwusirÉ™ pinÅjÄ dé sang wÄrÉ™ sirÉ™ kabèh, ksana rahinÉ™ kamantyan mangkat sang Drupada sutÉ™, tka marêpatatingkah byÅhÄnung bhayÉ™ bhisamÉ™, ngarani glarirèwêh kyÄti wÄrÉ™ kagÉ™pati Setelah selesai dipuja oleh ksatria semuanya, maka pada siang hari berangkatlah Sang Raja putera Drupada, setibanya telah siap mengatur barisan yang sangat membahayakan, nama barisannya yang berbahaya ialah “Garuda” yang masyur gagah berani Drupada pinakÉ™ têndas tan len PÄrtha sirÉ™ patuk, parÉ™ Ratu sirÉ™ prsta Å›rÄ DharmÄtmaja pinuji, hlari têngênikÄ sang Drstadyumna sahÉ™ balÉ™, kiwÉ™ pawanÉ™ sutÄ kas kocap Satyaki ri wugat Raja Drupada merupakan kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para Raja merupakan punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap bagian kanan merupakan Sang Drestadyumna bersama bala tentara, sayap kiri merupakan Bhima yang terkenal kekuatannya dan Satyaki pada ekornya Ya tÉ™ tiniru tkap Sang Å›rÄ Duryodhana pihadhan, Sakuni pinakÉ™ têndas manggêh ÅšÄlya sirÉ™ patuk, dwi ri kiwa ri têngên Sang BhÄsma Drona panalingÉ™, Kuru pati SirÉ™ prstÉ™ dyah DuśśÄsana ri wugat Hal itu ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sakuni merupakan kepala dan ditetapkan Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Rsi Bhisma dan pendeta Drona merupakan telinga, Raja Kuru merupakan punggung dan Sang Dursasana pada ekor Ri tlasirÉ™ matingkah ngkÄ ganggÄ sutÉ™ numaso, rumusaki pakekesning byuhÄ“ pÄndawÉ™ pinanah, dinasÉ™ gunÉ™ tkap Sang PÄrthÄng laksÉ™ mamanahi, linudirakinambah de Sang BhÄma kasulayah Setelah semuanya selesai mengatur barisan kala itu Rsi Bhisma maju ke muka, merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna berlipat ganda menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima sehingga banyak bergelimpangan KarananikÉ™ rusÄk syuh norÄ paksÉ™ mapuliha, pirÉ™ ta kunangtusnyang yodhÄgal mati pinanah, Kurupati Krpa Åšalya mwang DuśśÄsana Åšakuni, padhÉ™ malajêngumungsir BhÄsma Drona pinakÉ™ toh Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas, entah berapa ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja Kuru – Pendeta Kripa – Raja Salya – dan Sang Dursasana serta Sang Sakuni, sama-sama lari menuju Rsi Bhisma dan Pendeta Drona yang merupakan taruhan Niyata laruta sakwèhning yodhÄ sakuru kula, ya tanangutusa sang Å›rÄ BhÄsma Drona sumuruda tuwi pêtêngi wêlokning rènwa ngdé lêwu wulangun, wkasanawa tkapning rah lumrÄ madhêmi lebÅ Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Kaurawa, jika tidak disuruh oleh Rsi Bhisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu keadaan, akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu Ri marinika ptêng tang rah lwir sÄgara mangêbêk, maka lêtuha rawisning wÄrÄh mÄti mapupuhan, gaja kuda karanganya hrÅng jrah pÄndanika kasêk, aracana makakawyang Å›ÄrÄ tan wêdi mapulih Setelah gelap menghilang darah seakan-akan air laut pasang, yang merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling bantai, bangkai gajah dan kuda sebagai karangnya dan senjata panah yang bertaburan laksana pandan yang rimbun, sebagai orang menyusun suatu karangan para pahlawan yang tak merasa takut membalas dendam Irika nasÄ“mu képwan Sang PÄrthÄrddha kaparihain, lumihat i paranÄthÄkwèh mÄting ratha karunna, nya Sang Irawan anak Sang PÄrthÄwÄs lawan Ulupuy, pêjah alaga lawan Sang Çrênggi rÄkshasa nipunna Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia melihat Raja-Raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya, di sanalah terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang gugur dalam pertempuran melawan Sang Srenggi, seorang rakshasa yang ulung
MenguakMisteri Rahasia Ilmu Gendam Pada kesempatan kali ini kami postingkan mengenai Menguak Misteri Rahasia Ilmu Gendam dari hasil wawancara kami dengan tokoh spiritualis asal salatiga, budayawan dan seniman kaligrafi huruf jawa sekaligus penulis Kitab Primbon Adji Mantrasmara jilid 1-5 dan Kitab Pusaka Kepraboning Awak versi bahasa jawa dan bahasa english.
Baratayuda adalah puncak dari kisah Mahabharata yang berasal dari India mengenai perseteruan dua kubu yang masih bersaudara, yaitu Pandawa dan Kurawa. Mahabharata adalah karya sastra kuno hasil tulisan Begawan Byasa atau yang dikenal juga sebagai Vyasa dari India, dan terdiri dari delapan belas kitab. Ada pula pihak yang meyakini bahwa Mahabharata sebenarnya adalah kumpulan dari banyak cerita yang terpisah – pisah dan dikumpulkan sejak abad ke 4 sebelum Masehi. Cerita Mahabharata mengenai konflik Pandawa yang berjumlah lima orang dan sepupunya Kurawa yang berjumlah seratus orang mengenai perebutan tahta pihak sama – sama merasa memiliki hak untuk menguasai Astinapura. Pertikaian kedua kelompok bersaudara ini sebagai bagian dari sejarah perang baratayudha telah terjadi sejak mereka lahir. Kisah ini bahkan diadaptasi ke dalam berbagai bahasa, termasuk kisah versi pewayangan Jawa oleh Mpu Sedah pada tahun 1157 atas perintah Jayabaya, yang tercantum dalam silsilah kerajaan Kediri sebagai salah satu Raja Kediri. Istilah Baratayuda diambil dari judul naskah ini dan menjadi bagian dari sejarah kerajaan Kediri, yaitu Bharatayuddha yang berbahasa Jawa kuno. Dalam versi Jawa, kisah perang ini mengalami beberapa perubahan disesuaikan dengan setting yang lebih cocok dengan latar belakang Jawa sehingga dianggap terjadi di pulau Perang BaratayudaUntuk mengetahui dan memahami penyebab perang Baratayuda, kita perlu menelusuri sejarah asal muasal kelompok Pandawa dan Kurawa terlebih dulu. Karena banyaknya tokoh dan faktor yang terlibat, penyebab perang Baratayuda tidak bisa digambarkan dengan satu kalimat sederhana saja. yang Asal usul masalah yang menjadi akar dan penyebab dari perang ini antara lain1. Persyaratan SatyawatiAwal mulanya harus kita lihat dari kisah Raja Sentanu, yang ingin mempersunting Satyawati , istri keduanya yang memberi syarat agar keturunannya yang memegang hak atas tahta Astinapura. Sentanu tidak dapat memenuhi hal tersebut karena ia telah memiliki Bisma, putranya dengan Dewi Gangga. Bisma kemudian berjanji kepada Satyawati bahwa ia tidak akan mengklaim tahta bahkan tidak akan menikah selamanya asalkan Satyawati mau menikah dengan ayahnya. Maka dari Sentanu dan Satyawati lahir dua putra, Citranggada yang menggantikan Sentanu menjadi Raja Kuru dan adiknya tewas dalam pertempuran dengan raja Gendarwa licik yang memiliki nama sama dengannya, yang menantangnya karena tidak mau tersaingi dengan raja lain bernama sama. Wicitrawirya kemudian menggantikan kakaknya sebagai Raja Kuru karena Citranggada tidak memiliki istri atau keturunan. Wicitrawirya kemudian menikah dengan Ambika dan Ambalika lalu mati dalam usia muda karena penyakit paru – paru tanpa memiliki anak. Kedua jandanya kemudian memiliki anak dalam ritual dengan Resi Byasa, yaitu Dretarastra putra Ambika dan Pandu putra Dendam GendariKisah ini bermula dari Pandu, yang membawa tiga orang wanita ke Astinapura, yaitu Kunti, Gendari dan Madrim. Pandu kemudian mempersilakan kakaknya Dretarastra yang buta untuk memilih salah satu wanita tersebut. Dretarastra memilih dengan menimbang berat ketiganya, lalu ia memilih Gendari karena memiliki bobot paling berat. Menurutnya, wanita yang berbobot berat akan mudah melahitkan banyak anak sesuai keinginannya. Hal ini menyebabkan Gendari sakit hati kepada Pandu sehingga bersumpah bahwa keturunannya akan menjadi musuh bagi anak – anak Pandu Konflik Di Masa Kanak – KanakAnak – anak Pandu dari Kunti dan Madri yang berjumlah lima orang disebut Pandawa, dan anak – anak Dretarastra dan Gendari yang berjumlah seratus orang tepatnya 99 putra dan 1 putri disebut Kurawa. Persaingan sudah terjadi sejak mereka semua masih kanak – kanak. Semuanya tinggal bersama – sama di dalam satu kerajaan di Astinapura. Konflik dimulai ketika Duryudana, putra tertua Kurawa menginginkan tahta Dinasti Kuru untuk dirinya dan merasa tidak mungkin mendapatkannya jika masih ada anak – anak Pandawa. Mulailah berbagai niat jahat timbul dalam diri Duryudana untuk menyingkirkan Pandawa dan ibunya, yang ia lakukan bersama Sangkuni, adik dari Percobaan Pembunuhan PandawaDuryudana dan pamannya berusaha menyingkirkan Yudhistira yang berhak menjadi Raja dan juga semua Pandawa lainnya dengan berbagai cara, termasuk melalui percobaan pembunuhan. Duryudana membuat alat pesta yang mudah terbakar dan mengundang Pandawa serta Kunti untuk berpesta. Disana mereka akan diminta untuk mengonsumsi minuman yang sudah dicampur obat tidur. Walaupun demikian, Pandawa dilindungi oleh pamannya Widura dan Kresna, sepupu mereka sehingga selalu selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Widura membocorkan rencana Duryudana. Pandawa dan ibunya kemudian melarikan diri ke hutan dan Keberadaan Drupadi dan Kesalahan YudistiraKedatangan Drupadi juga turut menjadi salah satu penyebab perang Baratayuda. Dalam pelariannya, Pandawa mendengar akan diadakannya sayembara di Kerajaan Panchala, dan siapapun pemenangnya akan menikahi putri Raja Panchala yaitu Drupadi. Sayembara berupa pertandingan memanah tersebut diikuti oleh Arjuna yang kemudian memenangkannya. Ketika Arjuna dan Bima membawa Drupadi pulang, mereka berkata telah mendapatkan hadiah yang terbaik. Kunti yang tidak mengetahui apa yang dibawa pulang lalu menyuruh mereka membagi rata sehingga Drupadi menjadi istri dari kelima pernikahan dengan Drupadi, Pandawa kembali ke kerajaan. Agar tidak terjadi lagi pertikaian maka kerajaan Kuru dibagi menjadi dua. Kurawa mendapatkan kerajaan utama di Astinapura sedangkan Pandawa mendapatkan Kurujanggala yang beribukota Indraprastha. Duryudana yang berkunjung ke istana Indraprastha yang megah tercebur ke kolam yang dikiranya lantai, lalu ditertawakan oleh yang dendam kepada Drupadi mencoba membalas dengan mengajak Yudistira yang sangat suka bermain dadu. Ia menyusun siasat licik agar Yudistira kalah dengan berbagai taruhan yang dimulai dari hal kecil sampai membuat Pandawa kehilangan harta dan kerajaannya. Pada akhirnya, Drupadi juga menjadi bahan taruhan. Kekalahan Pandawa membuat Duryudana bebas untuk mempermalukan Drupadi dengan mencoba menelanjanginya di depan umum. Namun berkat bantuan Kresna, selalu ada lapisan pakaian dibawah pakaian Drupadi yang dibuka oleh Dursasana, adik Duryudana. Bima yang marah bersumpah akan membunuh Dursasana dan meminum Pengasingan PandawaSetelah semua usaha yang gagal, maka Kurawa mencoba menipu para Pandawa dengan permainan dadu lagi. Syaratnya siapapun yang kalah harus meninggalkan istana selama 13 tahun. Yudistira kembali terkecoh. Kelicikan permainan menyebabkan Pandawa kalah sehingga mereka harus angkat kaki dari istana ke hutan. Dretarastra berjanji bahwa ia akan menyerahkan tahta kepada Yudistira setelah ia kembali kelak. Namun setelah masa pengasingan berakhir, Duryudana tidak mau menyerahkan Pandawa yang masih bersabar hanya meminta bagian sebanyak lima buah desa, namun itu pun ditolak mentah – mentah oleh Duryudana. Perilaku Duryudana tersebut akhirnya membuat Pandawa tidak bisa lagi menahan diri untuk berperang dan menjadi penyebab perang Baratayuda. Perang yang terjadi di Padang Kurusetra tersebut amat dahsyat dan luar biasa juga menimbulkan banyak sekali korban jiwa. Penyebab perang Baratayuda tersebut berakhir dengan sepuluh ksatria yang bertahan hidup, yaitu kelima Pandawa, Yuyutsu, Satyaki, Aswatama, Krepa dan Kertawarma. Yudhistira pada akhirnya dinobatkan sebagai Raja Kuru, dan menyerahkan tahta setelah beberapa lama kepada Parikesit, cucu Pandawa dan Drupadi kemudian mendaki gunung Himalaya untuk menjadi tujuan akhir perjalanan hidup mereka. Keempat Pandawa dan Drupadi meninggal di perjalanan, tinggal Yudistira sendiri yang berhasil mencapai puncak Himalaya dan diizinkan oleh Dewa Dharma untuk masuk surga sebagai manusia. Kisah Mahabharata ini memiliki unsur – unsur agama Hindu, sebagaimana sejarah candi arjuna, sejarah candi dieng, dan beberapa candi Hindu di Indonesia serta Candi peninggalan agama Hindu yang juga ada di negara kita.
PadaMunculnya Prabu Salya Ke Medan Perang Adalah''Cerita Baratayuda Versi Jawa â€" BaseDroid May 2nd, 2018 - Profil Tokoh Dan Pemain New Mahabarata Kaskus The Largest Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan Di Yogyakarta cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Perlu anda ketahui Kisah
Uploaded byM Yusuf Dali 0% found this document useful 0 votes1K views7 pagesCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document0% found this document useful 0 votes1K views7 pagesBaratayudaUploaded byM Yusuf Dali Full descriptionJump to Page You are on page 1of 7Search inside document You're Reading a Free Preview Pages 4 to 6 are not shown in this preview. Buy the Full Version Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Gubahanlain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160). Kitab suci terjemahan resmi LAI dalam bahasa Jawa itu ada dua versi. Versi bahasa Jawa sehari-hari ini kira-kira
Versi Jawa Baratayuda Baratayuda adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah MahaBharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India. Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha, yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta. Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848. Sebab Peperangan Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi MahaBharata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa atau Yudistira melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana. Akan tetapi versi pewayangan menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah ditetapkan akan terjadi. Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari, dan Madrim. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, sehingga membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu. Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi MahaBharata, antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta melalui permainan dadu. Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Keputusan inilah yang membuat perang Baratayuda tidak dapat dihindari lagi. Kitab Jitabsara Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi MahaBharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi tentang urutan siapa saja yang akan menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, atas perintah Batara Guru, raja kahyangan. Kresna raja Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa berhasil mencuri kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih. Namun, sebagai seorang ksatria, ia tidak mengambilnya begitu saja. Batara Guru merelakan kitab Jitabsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta menukarnya dengan Kembang wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Jitabsara yang telah ditakdirkan dewata. Aturan Peperangan Jalannya perang Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan perang versi MahaBharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju. Sebagai contoh, apabila dalam versi MahaBharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada hari terakhir di mana Duryudana tewas di tangan Bima. Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh Duryudana sendiri, yang seringkali dilakukannya tanpa perhitungan cermat. Pembagian babak Di bawah ini disajikan pembagian kisah Baratayuda menurut versi pewayangan Jawa. Babak 1 Seta Gugur Babak 2 Tawur Bisma Gugur Babak 3 Paluhan Bogadenta Gugur Babak 4 Ranjapan Abimanyu Gugur Babak 5 Timpalan Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur Babak 6 Suluhan Gatotkaca Gugur Babak 7 Karna Tanding Babak 8 Rubuhan Duryudana Gugur Babak 9 Lahirnya Parikesit Karena kisah Baratayuda yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah sisipan yang tidak terdapat dalam kitab aslinya, mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun demikian, inti kisahnya sama. Babak pertama Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa mengangkat Bisma Resi Bisma sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti “gunung samudra.” Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada pemukul Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putera mahkota Mandaraka tewas seketika. Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa. Babak Kedua Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna Trustajumena sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Bisma tetap menjadi pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang Garuda terbang. Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya, Bomawikata, terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma, raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga anak Setyaki, Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna. Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi Bisma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut, Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi. Tawur demi kemenangan Dalam babak ini juga diadakan korban demi syarat kemenangan pihak yang sedang berperang. Resi Ijrapa dan anaknya Rawan dengan sukarela menyediakan diri sebagai korban Tawur bagi Pandawa. Keduanya pernah ditolong Bima dari bahaya raksasa. Selain itu satria Pandawa terkemuka, Antareja yang merupakan putra Bima juga bersedia menjadi tawur dengan cara menjilat bekas kakinya hingga tewas. Sementara itu Sagotra, hartawan yang berhutang budi pada Arjuna ingin menjadi korban bagi Pandawa. Namun karena tidak tahu arah, ia bertemu dengan Korawa. Oleh tipu muslihat Korawa, ia akan dipertemukan dengan Arjuna, namun dibawa ke Astina. Sagotra dipaksa menjadi tawur bagi Korawa, namun menolak mentah-mentah. Akhirnya, Dursasana, salah satu anggota Kurawa membunuhnya dengan alasan sebagai tawur pihak Korawa. Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu setelah pihak Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah barisan yang diberi nama “Garuda” yang sangat hebat untuk menggempur pasukan Korawa. Setelah selesai dipuja oleh ksatria semuanya, maka pada siang hari berangkatlah Sang Raja putera Drupada, setibanya telah siap mengatur barisan yang sangat membahayakan, nama barisannya yang berbahaya ialah “Garuda” yang masyur gagah berani Raja Drupada merupakan kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para Raja merupakan punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap bagian kanan merupakan Sang Drestadyumna bersama bala tentara, sayap kiri merupakan Bhima yang terkenal kekuatannya dan Satyaki pada ekornya Hal itu ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sakuni merupakan kepala dan ditetapkan Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Rsi Bhisma dan pendeta Drona merupakan telinga, Raja Kuru merupakan punggung dan Sang Dursasana pada ekor Setelah semuanya selesai mengatur barisan kala itu Rsi Bhisma maju ke muka, merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna berlipat ganda menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima sehingga banyak bergelimpangan Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas, entah berapa ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja Kuru – Pendeta Kripa – Raja Salya – dan Sang Dursasana serta Sang Sakuni, sama-sama lari menuju Rsi Bhisma dan Pendeta Drona yang merupakan taruhan Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Kaurawa, jika tidak disuruh oleh Rsi Bhisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu keadaan, akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu. Setelah gelap menghilang darah seakan-akan air laut pasang, yang merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling bantai, bangkai gajah dan kuda sebagai karangnya dan senjata panah yang bertaburan laksana pandan yang rimbun, sebagai orang menyusun suatu karangan para pahlawan yang tak merasa takut membalas dendam Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia melihat Raja-Raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya, di sanalah terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang gugur dalam pertempuran melawan Sang Srenggi, seorang rakshasa yang ulung
lRnFcc4. e5krs89cyf.pages.dev/200e5krs89cyf.pages.dev/734e5krs89cyf.pages.dev/227e5krs89cyf.pages.dev/750e5krs89cyf.pages.dev/790e5krs89cyf.pages.dev/321e5krs89cyf.pages.dev/299e5krs89cyf.pages.dev/586e5krs89cyf.pages.dev/987e5krs89cyf.pages.dev/766e5krs89cyf.pages.dev/786e5krs89cyf.pages.dev/984e5krs89cyf.pages.dev/913e5krs89cyf.pages.dev/34e5krs89cyf.pages.dev/9
cerita baratayuda versi bahasa jawa